Kamis, 20 November 2025

Murianews, Kudus – Djoemrat saat ini menjadi satu-satunya pejuang veteran Trikora-Dwikora yang tersisa di Kudus. Pria kelahiran 21 Juni 1939 ini telah berusia 84 tahun.

Perjuangannya dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat tidaklah mudah. Ia merupakan saksi dan pelaku sejarah dari ekspedisi Trikora dan Dwikora pada tahun 1960 hingga 1964.

Sembari bercerita dengan mata penuh berkaca, ia membuka kembali masa lalu penuh luka. Perjuangannya dalam membebaskan Republik Indonesia menjadi suatu memori yang kini masih ia ingat dengan sangat baik.

Djoemrat mengungkap pada bulan April tahun 1960, ia ditugaskan ke Sumatera Barat untuk membebaskan PRRI yang mana saat itu sedang berkontra dengan pemerintah Republik Indonesia.

”Saat itu pemerintah menugaskan kami untuk membebaskan PRRI. Saat itu PRRI berada di , bawah pimpinan kolonel Simbolon,” ungkap Djoemrat, pada Murianews.com, Selasa (21/5/2024).

Di tahun 1961, Djoemrat melakukan eskspedisi Trikora. Ia dari Batalyon A4A42 ditugaskan untuk melakukan pembebasan hingga Belanda meninggal Irian Barat. Pada saat penggempuran itu, semua pasukan digerakkan di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, pada saat Presiden pertama Soekarno.

”Belanda waktu itu menetap di Indonesia ratusan tahun. Pemerintah Indonesia dan PBB sudah memerintahkan Belanda untuk pergi, tapi Belanda tetap tidak mau,” katanya.

Ia mengungkap, pihaknya ikut melakukan penggempuran pada Belanda atas perintah dari Soeharto untuk melakukan pembebasan Irian Barat. Ungkapnya, pada saat itu banyak prajurit yang gugur demi mempertahankan tanah Irian Barat.

”Pada tahun 1962, merah putih telah ditegakkan di Irian Barat. Berarti Trikora telah selesai,” ungkapnya.

Pada 19 Maret 1964, Djoemrat dari Batalyon 049 Kudus kembali ditugakan Soekarno untuk berangkat ke perbatasan Kalimantan Barat. Pada saat itu, Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.

”Namun, bukan pasukan Malaysia yang kami hadapi. Melainkan pasukan Inggris dan Selandia Baru,” ujarnya.

Ia mengungkap, bahwa prajurit dari Batalyonnya pada saat itu jadi prajurit terberat, sebab harus menghadapi pasukan Inggris dan Selandia Baru.

.”Ya, itu ekspedisi Dwikora,” tandasnya.

Selama dua tahun ekspedisi Dwikora, Djoemrat mengungkap bahwa banyak sekali nyawa yang harus melayang. Sebab, beratnya medan dan musuh jadi salah satu penyebab.

Banyak prajurit yang gugur karena lawan yang tak seimbang. Sebab, pada ekspedisi Dwikora, yang ia hadapi adalah para Baret Merah Inggris dan Selandia Baru.

Dengan penuh kesedihan, Djoemrat sembari menangis mengingat kisah pilu eskpedisi Dwikora yang pernah ia lalui. Ia menyampaikan, bahwa ia sempat melihat kawannya dipenggal kepalanya oleh pasukan Inggris. Dalam situasi medan yang berat karena berlokasi di hutan-hutan lebat, Djoemrat mengaku bahwa selama ekspedisi itu, banyak hal yang telah ia lalui.

”Makan hanya dengan nasi selama dua tahun, tidak pakai lauk,” pungkasnya.

Ungkapnya, pada saat ekspedisi Dwikora, ia dan para prajurit hanya tidur di tanah dan makan dengan nasi selama dua tahun. Selama dua tahun itu, setiap hari nyawa selalu diambang kematian. Sebab kegiatan yang ia lakukan adalah patroli-perang dan patroli-perang.

”Ridha Allah SWT, tidak ada yang sakit meski harus hidup serba keterbatasan,”

Djoemrat mengakui bahwa ia bersyukur masih hidup sehat hingga saat ini. Kini, ia menjadi veteran tertua di Kota Kretek yang menjadi pelaku sejarah ekspedisi Trikora dan Dwikora.

Editor: Supriyadi

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler