Pers sebagai Medium untuk Menghapus Diskriminasi Gender
Cholis Anwar
Rabu, 12 April 2023 23:21:54
Apabila salah dalam melakukan pemberitaan, justru akan menjadi bumerang bagi mereka. Karena itu, pers mempunyai etika khusus pada saat melakukan peliputan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut dalam acara workshop
Trusted News Indicator dengan tema "New Media dan Perempuan" yang didukung oleh Internews dan USAID MEDIA, Rabu (12/4/2023).
Menurutnya, pada lanskap media saat ini, bertabur banyak media termasuk platform media sosial yang secara terbuka mengekspos kekerasan perempuan, serta kata kasar (
hatespeech), perundungan (
bullying), dan identitas atau eksploitasi terhadap anak-anak.
Baca:
Petakan Indikator Kepercayaan Publik Terhadap Media, AMSI Gelar Workshop”Media harus menarik garis demarkasi yang terang antara media dengan platform yang tidak tersentuh literasi itu. Media harus lebih sensitif terutama menyangkut anak dan perempuan,” katanya.
Karena itu, lanjut Wens, AMSI membuat indikator kepercayaan publik yang berjumlah 11 poin. Salah satu poinnya adalah pedoman pemberitaan terpercaya fokus isu perempuan dan anak.
Sementara
Chief of Party Internews Indonesia, Eric Sasono menilai, masih banyak media yang belum menerapkan penyebarluasan edukasi dan literasi tentang perlindungan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kuatnya penerapan kultur patriarki dimana editorial media maupun audiens umum masih gemar membaca tentang eksploitasi perempuan dan anak.”Penerapan
trusted news ibarat jalan terjal karena perubahan pandangan dan budaya (Patriarki) di Indonesia. Di atas kertas, AMSI sudah memulai dengan menjalankan pedoman
trustworthy news dalam kegiatannya menghimpun indikator kepercayaan publik sebagai landasan operasional pemberitaan di redaksi,” kata Eric.Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pers berpengaruh pada pembentukan opini dan sikap individu maupun masyarakat. Pers juga menjadi medium untuk penghapusan diskriminasi berbasis gender.
Baca:
Waspada Penipuan Mengatasnamakan AMSI dengan Modus Menakut-nakuti”Hubungan timbal balik antara pers dan norma sosial di masyarakat, membentuk interaksi sosial dan perubahan sosial. Tantangannya adalah pers harus bisa menyerap perspektif patriarki dan diskriminasi berbasis gender di masyarakat,” terangnya.Lebih jauh,
Founder of Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Musdah Mulia mengatakan, media sebagai produk budaya yang merupakan konstruksi sosial memiliki peran dalam perubahan.”Untuk merekonstruksi budaya (media) secara sistematis, bisa dilakukan dengan perubahan, yakni melalui pendidikan atau penguatan literasi. Upaya literasi penting menyadarkan semua orang, membuat kita menjadi bangsa berkeadaban,” jelasnya.
Murianews, Jakarta – Perkembangan dunia digital saat ini membuat pers harus lebih berhati-hati dalam memberitakan perempuan dan anak, utamanya media siber. Sebab dua obyek tersebut merupakan kelompok rentan yang membutuhkan perhatian khusus.
Apabila salah dalam melakukan pemberitaan, justru akan menjadi bumerang bagi mereka. Karena itu, pers mempunyai etika khusus pada saat melakukan peliputan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut dalam acara workshop
Trusted News Indicator dengan tema "New Media dan Perempuan" yang didukung oleh Internews dan USAID MEDIA, Rabu (12/4/2023).
Menurutnya, pada lanskap media saat ini, bertabur banyak media termasuk platform media sosial yang secara terbuka mengekspos kekerasan perempuan, serta kata kasar (
hatespeech), perundungan (
bullying), dan identitas atau eksploitasi terhadap anak-anak.
Baca:
Petakan Indikator Kepercayaan Publik Terhadap Media, AMSI Gelar Workshop
”Media harus menarik garis demarkasi yang terang antara media dengan platform yang tidak tersentuh literasi itu. Media harus lebih sensitif terutama menyangkut anak dan perempuan,” katanya.
Karena itu, lanjut Wens, AMSI membuat indikator kepercayaan publik yang berjumlah 11 poin. Salah satu poinnya adalah pedoman pemberitaan terpercaya fokus isu perempuan dan anak.
Sementara
Chief of Party Internews Indonesia, Eric Sasono menilai, masih banyak media yang belum menerapkan penyebarluasan edukasi dan literasi tentang perlindungan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kuatnya penerapan kultur patriarki dimana editorial media maupun audiens umum masih gemar membaca tentang eksploitasi perempuan dan anak.
”Penerapan
trusted news ibarat jalan terjal karena perubahan pandangan dan budaya (Patriarki) di Indonesia. Di atas kertas, AMSI sudah memulai dengan menjalankan pedoman
trustworthy news dalam kegiatannya menghimpun indikator kepercayaan publik sebagai landasan operasional pemberitaan di redaksi,” kata Eric.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pers berpengaruh pada pembentukan opini dan sikap individu maupun masyarakat. Pers juga menjadi medium untuk penghapusan diskriminasi berbasis gender.
Baca:
Waspada Penipuan Mengatasnamakan AMSI dengan Modus Menakut-nakuti
”Hubungan timbal balik antara pers dan norma sosial di masyarakat, membentuk interaksi sosial dan perubahan sosial. Tantangannya adalah pers harus bisa menyerap perspektif patriarki dan diskriminasi berbasis gender di masyarakat,” terangnya.
Lebih jauh,
Founder of Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Musdah Mulia mengatakan, media sebagai produk budaya yang merupakan konstruksi sosial memiliki peran dalam perubahan.
”Untuk merekonstruksi budaya (media) secara sistematis, bisa dilakukan dengan perubahan, yakni melalui pendidikan atau penguatan literasi. Upaya literasi penting menyadarkan semua orang, membuat kita menjadi bangsa berkeadaban,” jelasnya.