Puasa dan Perjalanan Menuju Taubat
Faqih Mansur Hidayat
Selasa, 4 April 2023 05:00:17
Dari akarnya, puasa adalah menahan diri untuk tidak makan, minum, dan menahan nafsu sejak imsak. Para ulama menegaskan puasa tak hanya sebatas menahan tiga hal tersebut. Tetapi lebih jauh dari itu, puasa harus dijalani dengan dasar penuh keimanan.
Jika tiga hal itu sudah dilandasi dengan keimanan, maka Allah menjanjikan akan mengampuni dosa-dosa pada diri hamba-Nya. Untuk itu, puasa dapat dimaknai sebagai proses pertaubatan. Dosa-dosa yang sudah terjadi, di bulan Ramadan Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat.
Hal itu sesuai hadits Nabi Muhammad SAW yang cukup masyhur yang diriwayatkan Abu Hurairah:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni.

Ada dua hal penting dalam taubatan nasuha. Pertama yaitu muhasabah atau intropeksi diri. Pada tahap ini, kita mesti melihat diri dalam-dalam. Segala perbuatan dosa yang kita lakukan harus diakui sebagai bentuk kesalahan kepada Allah.
Lalu yang kedua, yaitu ittiba’ li rasul atau menjalani hidup dan menghiasinya dengan menjalani sunah-sunah rasul. Kita juga bisa mengisi hari-hari dengan kebaikan sesuai syariat yang diajarkan para ulama dan kyai.Bagaimana bila setelah puasa masih melakukan dosa? Prinsip utama berpuasa adalah latihan atau riyadlah menahan diri untuk mengendalikan hawa nafsu dengan dasar iman.Seharusnya, karena puasa adalah riyadlah, setelah puasa usai mestinya tetap berlaku sebagaimana menjalani puasa. Ketika itu tidak terjadi, maka kita perlu melihat kembali dan bertanya: sudah bagaimana puasa kita kemarin?Memang, menjalani hidup seratus persen terbebas dari dosa merupakan hal yang mustahil. Tetapi, seberat apapun dosa yang kita lakukan, kita tetap harus meyakini bulan ramadan adalah sebaik-baiknya momentun untuk melakukan taubatan nasuha. Editor: Zulkifli Fahmi
[caption id="attachment_370129" align="alignleft" width="150"]
Hisyam Zamroni, Wakil Ketua Tanfidziah PCNU Kabupaten Jepara[/caption]
Dari akarnya, puasa adalah menahan diri untuk tidak makan, minum, dan menahan nafsu sejak imsak. Para ulama menegaskan puasa tak hanya sebatas menahan tiga hal tersebut. Tetapi lebih jauh dari itu, puasa harus dijalani dengan dasar penuh keimanan.
Jika tiga hal itu sudah dilandasi dengan keimanan, maka Allah menjanjikan akan mengampuni dosa-dosa pada diri hamba-Nya. Untuk itu, puasa dapat dimaknai sebagai proses pertaubatan. Dosa-dosa yang sudah terjadi, di bulan Ramadan Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat.
Hal itu sesuai hadits Nabi Muhammad SAW yang cukup masyhur yang diriwayatkan Abu Hurairah:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni.

Ada dua hal penting dalam taubatan nasuha. Pertama yaitu muhasabah atau intropeksi diri. Pada tahap ini, kita mesti melihat diri dalam-dalam. Segala perbuatan dosa yang kita lakukan harus diakui sebagai bentuk kesalahan kepada Allah.
Lalu yang kedua, yaitu ittiba’ li rasul atau menjalani hidup dan menghiasinya dengan menjalani sunah-sunah rasul. Kita juga bisa mengisi hari-hari dengan kebaikan sesuai syariat yang diajarkan para ulama dan kyai.
Bagaimana bila setelah puasa masih melakukan dosa? Prinsip utama berpuasa adalah latihan atau riyadlah menahan diri untuk mengendalikan hawa nafsu dengan dasar iman.
Seharusnya, karena puasa adalah riyadlah, setelah puasa usai mestinya tetap berlaku sebagaimana menjalani puasa. Ketika itu tidak terjadi, maka kita perlu melihat kembali dan bertanya: sudah bagaimana puasa kita kemarin?
Memang, menjalani hidup seratus persen terbebas dari dosa merupakan hal yang mustahil. Tetapi, seberat apapun dosa yang kita lakukan, kita tetap harus meyakini bulan ramadan adalah sebaik-baiknya momentun untuk melakukan taubatan nasuha.
Editor: Zulkifli Fahmi