Rabu, 19 November 2025

Murianews, Jepara – Pesisir selatan Kabupaten Jepara, Jawa Tengah merupakan sentra produksi garam. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya garam dari Bumi Kartini menembus pasar nusantara.

Memasuki kawasan Desa Tanggul Tlare, Kecamatan Kedung, hamparan luas petak-petak tambak membentang di sisi kanan dan kiri jalan. Jika musim kemarau seperti ini, aktivitas petani menggaruk atau memanggul garam akan memanjakan mata. Hamparan kristal-kristal garam akan tersaji di sepanjang jalan hingga perbatasan antara Kabupaten Jepara dan Kabupaten Demak.

Sumarno, salah satu petani garam asal Desa Tanggul Tlare terlihat sedang menggaruk kristal-kristal garam. Kristal-kristal itu dikumpulkan menjadi gunungan garam.

Terik matahari yang sangat menyengat membuat Sumarno tersenyum lebar. Dia semakin betah dan bersemangat menggaruk garam di tambak.

”Semakin panas, hasilnya semakin banyak. Garam juga menjadi lebih bagus,” kata Sumarno saat ditemui Murianews.com, Sabtu (2/9/2023).

Tambak garam yang dia garap bukanlah milik pribadi. Dia menyewa tambak milik pemerintah desa setempat. Selama lima tahun, biaya sewa sekitar 25 juta.

Baru dua tahun dia bisa menyewa tambak garam sendiri. Sebelumnya, dia hanya menggarap tambak milik mertuanya. Hasilnya pun harus dibagi berdua.

”Kalau menggarap patungan, hasilnya sedikit. Kalau sewa tambak sendiri, hasilnya lumayan,” ujar dia.

Dua tahun menyewa tambak, Sumarno sudah bisa mengembalikan modal. Panas matahari dan durasi kemarau sangat menentukan hasil panen garam.

”Kalau soal penghasilan, tidak bisa dipastikan. Karena harganya juga naik turun tak menentu,” jelas dia.

Menjadi petani garam tak melulu menggembirakan. Bagi Sumarno dan teman-temannya, keterbatasan alat dan perlengkapan kerap membuat mereka susah. Misalnya, minimnya tanggul tambak di bibir pantai membuat air laut akan masuk ke tambak saat rob tiba. Akibatnya, plastik yang digunakan sebagai alas akan menggelembung.

”Kalau sudah begitu, air tidak jadi mengkristal. Otomatis tidak punya garam,” ujar dia.

Terlepas dari itu, Sumarno tetap bersyukur dengan aktivitasnya saat ini. Dengan menyewa tujuh petak tambak, maka setiap hari dia bisa memanen garam. Sebab, proses pembuatan garam membutuhkan waktu sekitar tujuh hari.

Sumarno juga tak perlu susah-susah mencari pembeli. Saat musim panen seperti ini, para pengepul akan datang sendiri ke tambak untuk membelinya.

”Garam kering diwadahi tombong (keranjang, red) di tambak langsung dibeli pengepul. Katanya dikirim ke luar Jawa,” ungkap dia.

Editor: Dani Agus

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler