Omah Petruk Jepara Bikin Tenun Berbahan Alami
Faqih Mansur Hidayat
Rabu, 12 Juni 2024 17:04:00
Murianews, Jepara – Komunitas Omah Petruk Jepara terus konsern dengan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu caranya yakni dengan membuat Tenun Troso berbahan alami yang ramah lingkungan.
Inisiatornya adalah Ahmad Karomi (34), warga Desa Troso, Kecamatan Pecangaan. Berangkat dari keprihatinannya pada dampak panjang penggunaan warna tekstil dalam pembuatan tenun, Romi, sapaan akrabnya membuat Wastra tenun dari bahan alami.
Romi memulainya sekitar tahun 2017. Setelah mencoba mengulik pembuatan pewarna alami, trial and eror hingga penyesuaian, kain tenun yang dikembangkannya itu berhasil jadi.
Kain tenun itu diberi nama produk Wastra Tenun Cakra Manggilingan. Tak sebatas nama, menurut Romi, penamaan tersebut mengacu pada falsafah jawa tentang siklus hidup manusia sesuai dengan tembang macapat.
”Setiap siklus hidup manusia ada tahapannya sesuai tembang macapat, dan tentun yang saya buat ini juga bermacam jenis, sesuai namanya,” kata Romi, Rabu (12/6/2024).
Romi menjelaskan, pemilihan bahan dasar untuk membuat kain tenunnya berasal dari daun mangga, indigofera, daun ketapang hingga limbah kulit mahoni. Dengan memanfaatkan limbah-limbah sekitar, bagi Roni seperti halnya ikut merawat lingkungan sekitar.
Menurut Romi, pewarna buatan memang lebih cerah dibandingkan pewarna alami. Sehingga pangsa pasar tenun tekstil lebih luas. Hal itu bukan jadi masalah. Bagi Romi, tenun ramah lingkungan miliknya punya pangsa pasar sendiri.
”Secara look memang lebih ngejreng dan cerah tenun yang warna tekstil, kalau tenun pewarna alami ini warnanya lebih adem, kalem dan kesan pastel,” terangnya.
Ini lantaran pemakaian warna buatan untuk tenun akan berdampak bagi lingkungan secara jangka panjang. Terlebih ketika limbah-limbah tekstil itu dibuang ke sungai atau irigasi warga.
Saat ini, pemasaran Wastra Tenun Cakra Manggilingan ini sudah disebarkan hingga Jakarta dan Bali. Romi menyebut segmentasi pasarnya memang kalangan menengah ke atas.
Satu lembar kain tenun Cakra Manggilingan dia jual mulai harga Rp 100 ribu sampai Rp 850 ribu, tergantung jenis dan ukurannya.
”Yang kecil Rp 100 ribu. Yang ukuran 60 cm Rp 350 ribu. Kalau yang lebar 1 meter panjang 225 cm harganya Rp 850 ribu,” sebutnya.
Dalam proses pembuatannya, Romi menjelaskan untuk satu kali produksi memerlukan waktu sekitar satu bulan. Sebab bahan-bahan alami perlu diolah terlebih dahulu sebelum dijadikan pewarna pada kain tenun.
”Sebab proses tenunan itu memang panjang. Bahkan satu produksi untuk tujuh bis benang itu butuh dua bulan,” ungkapnya.
Dia berharap, semakin banyak pelaku industri tenun Troso yang mau mencoba untuk beralih menggunakan perwanaan alami dalam produksinya.
”Semoga lebih banyak pelaku industri yang mau pakai pewarna alami, setidaknya itu bisa sedikit mengurangi dampak ke lingkungan,” pungkasnya.
Editor: Supriyadi
Murianews, Jepara – Komunitas Omah Petruk Jepara terus konsern dengan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu caranya yakni dengan membuat Tenun Troso berbahan alami yang ramah lingkungan.
Inisiatornya adalah Ahmad Karomi (34), warga Desa Troso, Kecamatan Pecangaan. Berangkat dari keprihatinannya pada dampak panjang penggunaan warna tekstil dalam pembuatan tenun, Romi, sapaan akrabnya membuat Wastra tenun dari bahan alami.
Romi memulainya sekitar tahun 2017. Setelah mencoba mengulik pembuatan pewarna alami, trial and eror hingga penyesuaian, kain tenun yang dikembangkannya itu berhasil jadi.
Kain tenun itu diberi nama produk Wastra Tenun Cakra Manggilingan. Tak sebatas nama, menurut Romi, penamaan tersebut mengacu pada falsafah jawa tentang siklus hidup manusia sesuai dengan tembang macapat.
”Setiap siklus hidup manusia ada tahapannya sesuai tembang macapat, dan tentun yang saya buat ini juga bermacam jenis, sesuai namanya,” kata Romi, Rabu (12/6/2024).
Romi menjelaskan, pemilihan bahan dasar untuk membuat kain tenunnya berasal dari daun mangga, indigofera, daun ketapang hingga limbah kulit mahoni. Dengan memanfaatkan limbah-limbah sekitar, bagi Roni seperti halnya ikut merawat lingkungan sekitar.
Menurut Romi, pewarna buatan memang lebih cerah dibandingkan pewarna alami. Sehingga pangsa pasar tenun tekstil lebih luas. Hal itu bukan jadi masalah. Bagi Romi, tenun ramah lingkungan miliknya punya pangsa pasar sendiri.
”Secara look memang lebih ngejreng dan cerah tenun yang warna tekstil, kalau tenun pewarna alami ini warnanya lebih adem, kalem dan kesan pastel,” terangnya.
Ini lantaran pemakaian warna buatan untuk tenun akan berdampak bagi lingkungan secara jangka panjang. Terlebih ketika limbah-limbah tekstil itu dibuang ke sungai atau irigasi warga.
Saat ini, pemasaran Wastra Tenun Cakra Manggilingan ini sudah disebarkan hingga Jakarta dan Bali. Romi menyebut segmentasi pasarnya memang kalangan menengah ke atas.
Satu lembar kain tenun Cakra Manggilingan dia jual mulai harga Rp 100 ribu sampai Rp 850 ribu, tergantung jenis dan ukurannya.
”Yang kecil Rp 100 ribu. Yang ukuran 60 cm Rp 350 ribu. Kalau yang lebar 1 meter panjang 225 cm harganya Rp 850 ribu,” sebutnya.
Dalam proses pembuatannya, Romi menjelaskan untuk satu kali produksi memerlukan waktu sekitar satu bulan. Sebab bahan-bahan alami perlu diolah terlebih dahulu sebelum dijadikan pewarna pada kain tenun.
”Sebab proses tenunan itu memang panjang. Bahkan satu produksi untuk tujuh bis benang itu butuh dua bulan,” ungkapnya.
Dia berharap, semakin banyak pelaku industri tenun Troso yang mau mencoba untuk beralih menggunakan perwanaan alami dalam produksinya.
”Semoga lebih banyak pelaku industri yang mau pakai pewarna alami, setidaknya itu bisa sedikit mengurangi dampak ke lingkungan,” pungkasnya.
Editor: Supriyadi