Murianew, Kudus – Baik tradisi Dandangan Kudus dan Dugderan Semarang, sebentar lagi akan digelar. Peristiwa budaya ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.
Dandangan di masyarakat Kudus merupakan tradisi budaya yang sudah berlangsung turun-temurun. Sesuai perkembangan zaman, tradisi ini tentu saja mengalami banyak transformasi hingga pelaksanaanya saat ini.
Hal yang sama juga berlaku bagi Dugderan yang begitu legendaris bagi masyarakat Semarang. Dugderan adalah tradisi masyarakat muslim di kota Semarang, yang hingga kini juga masih terus dilaksanakan.
Lalu, apakah Dandangan Kudus dan Dugderan Semarang berbeda? Ini menjadi sebuah pertanyaan yang menarik untuk diungkap penjelasannya.
Ditilik dari sejarahnya, seperti dilansir dari situs warisanbudaya.kemendikbud.go.id, dua tradisi ini ternyata memiliki kesamaan. Baik Dandangan maupun dugderan, sama-sama dilatar-belakangi oleh bulan suci Ramadhan.
Seperti diketahui bersama, Ramadhan adalah bulan penuh rahmat bagi umat muslim. Pada Ramadhan semua muslim harus melaksanakan ibadah puasa mulai 1 Ramadhan.
Kepastian kapan tanggal 1 Ramadhan atau waktu dimulainya puasa Ramadhan inilah yang akhirnya melahirkan dua tradisi yang kini dinyatakan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. Ini tentu saja berkait dengan masalah situasi dan kondisi yang ada saat itu.
Pada masa lalu, masyarakat muslim di Kudus dan di Semarang, harus menungggu dengan seksama pengumuman dari pihak berwenang mengenai 1 Ramadhan. Karena teknologi informasi dan komunikasi tak semaju saat ini, pengumuman ini harus dilakukan secara langsung oleh pihak berwenang. Masyarakat muslim harus datang ke pusat pemerintahan.
Selanjutnya pemimpin wilayah atau yang berwenang menyampaikan secara langsung mengenai kapan 1 Ramadhan terjadi. Tentu saja hal ini harus dilakukan karena saat itu belum ada media massa (Radio, TV atau Internet), apalagi handphone.
Untuk menarik perhatian, maka digunakanlah Bedug atau alat lainnya yang bisa mengeluarkan suara keras. Tujuannya agar masyarakat berkumpul dan selanjutnya bisa disampaikan pengumuman mengenai 1 Ramadhan itu.
Dalam hal ini, Dandangan Kudus menggunakan bedug yang suaranya khas “Dang-dang-dang”. Lambat laut setelah tradisi ini berlangsung dari tahun ke tahun, karena suara bedug ini masyarakat akhirnya menyebut peristiwa ini sebagai Dandangan.
Sementara di Dugderan di Semarang, saat itu digunakan bedug dan meriam. Suaranya berselang-seling “Dug-der-dug-der-“ berulang-ulang, hingga akhirnya momen ini oleh warga Semarang dikenal sebagai “Dugderan”.
Dandangan dan Dugderan ini akhirnya berkembang menjadi sebuah tradisi. Dalam kelanjutannya, kemudian berkembang menjadi sebuah kegiatan yang multi-kompleks. Di dalamnya ada muatan seni budaya, ekonomi, kultural dan lainnya yang kental.
Dandangan merupakan tradisi peninggalan dari Sunan Kudus yang bernama Syech Jafar Shodiq. Tokoh ini merupakan pemimpin tertinggi agama Islam di wilayah Kudus pada abad 16.
Beliau sangat disegani dan diakui dalam hal penguasaan ilmu agama khususnya Fikih dan Falaq. Oleh sebab itu tentu beliau sangat mengerti dan sangat ahli mengenai penetapan tanggal 1 Ramadhan.
Pada waktu itu setiap menjelang bulan Ramadan maka banyak orang yang berkumpul di sekitaran Masjid Menara atau Masjid Al Aqsa Kudus untuk menanti pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan tanggal 1 Ramadhan.
Sedangkan Dugderan, tradisi ini diyakini sudah ada sejak 1881 M, saat Semarang masih dipimpin Bupati KRMT Purbaningrat. Bersama Imam Besar Masjid Kauman, tokoh ini akan menyampaikan penentuan 1 Ramadhan secara langsung.
Jika di Dandangan masyarakat muslim berkumpul di sekitar Masjid Al Aqsa atau Masjid Menara, maka untuk momen Dugderan, masyarakat berkumpul di dekat Masjid Besar Kauman.
Banyaknya masyarakat, khususnya para santri yang datang menunggu pengumuman akhirnya membentuk sebuah keramaian. Sehingga akhirnya banyak pedagang yang datang untuk berjualan di sana.
Hal ini berulang-ulang, hingga akhirnya terbentuklah sebuah keramaian temporer setiap menjelang Ramadhan tiba. Lambat-laun situasi ini kemudian dijadikan sebagai sebuah agenda rutin setiap tahunnya, hingga saat ini.
Dengan demikian, ada kesamaan dari dua tradisi ini. Dandangan di Kudus dan Dugderan di Semarang, yakni sama-sama berkaitan dengan momen dimulainya awal Ramadhan.
Secara esensial, jika dirunut dari sejarahnya, kedua tradisi ini tidak berbeda pada awalnya. Terutama dari sisi nilai moral, kedua tradisi ini sama-sama menunjukan sebagai sebuah bentuk ritual keagamaan (Islam).
Namun pada perkembangannya ada yang sedikit berbeda dari Dandangan dan Dugderan. Ini lebih pada ke bentuk acara kegiatannya, dan itupun tidak menunjukan perbedaan yang mencolok.
Pada Dandangan Kudus, banyak sektor yang pada akhirnya juga menjadi bagian dari tradisi ini. Terutama sektor ekonomi, sosial dan budaya. Namun dalam banyak hal pelaksanaannya juga sudah mulai dikembangkan tidak hanya melulu pada kepentingan ekonomi saja.
Pun demikian dengan Dugderan Semarang, sebenarnya juga sama. Satu hal yang sedikit berbeda adalah, adanya kirab budaya yang dilakukan sambil mengetengahkan maskot yang dikenal sebagai “Warak Ngendok”.
“Warak Ngendok” sendiri berasal dari dua kata, yakni warak yang berasal dari bahasa arab “Wara”I” yang berarti suci. Sedangkan Ngendok sama artinya dengan bertelur. Secara harafiah bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan kelak diakhir bulan akan mendapatkan pahala di hari lebaran.
Menurut cerita warga, Warak Ngendok sudah hadir sejak awal mula pendirian Kota Semarang, bahkan saat Ki Ageng Pandan Arang mendirikan Kota Semarang dan menjadi Bupati pertama kali. Ini adalah sebuah hewan mitologi yang diyakini oleh warga Semarang.
Warak Ngendok sendiri berbentuk dari perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala dan buraq di bagian badannya. Hewan mitologi ini lah yang selalu dikirab oleh warga Semarang setiap kali Dugderan digelar.
Kirab budaya sendiri juga ada di dalam tradisi Dandangan Kudus. Namun tidak ada Warak Ngendok atau maskot yang diketengahkan. Mungkin hanya ini yang membedakan. Sedangkan dari sisi nilai moral, dan tujuan bisa dikatakan sama.
Nah, begitulah penjelasan mengenai Dandangan Kudus dan Dugderan Semarang. Apakah berbeda? Sepertinya tidak. Kedua tradisi ini adalah bentuk keluhuran dari budaya masyarakat Indonesia.
Tidak salah kiranya jika dua tradisi ini akhirnya dijadikan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh pemerintah. Diharapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam dua tradisi itu bisa terus kita rawat bersama.



