Ngaji NgAllah Suluk Maleman: Sangkan Paran Kemerdekaan
Budi Santoso
Minggu, 17 Agustus 2025 17:44:00
Murianews, Pati – Suluk Maleman edisi ke-164 yang digelar pada Sabtu (16/8/2025) menjadi salah satu momen spesial. Pada malam yang bertepatan dengan tirakatan menjelang Hari Kemerdekaan itu, masyarakat diajak memaknai kembali arti kemerdekaan.
Penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin, menyebut, banyak pengertian kemerdekaan yang perlu dimaknai ulang. Terlebih setelah Republik Indonesia memasuki usia ke-80 tahun.
“Seperti kita tahu, kemerdekaan diproklamasikan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Saat itu yang ada adalah entitas bangsa, belum ada negara. Negara yang kemudian diberi nama Republik Indonesia baru dibentuk pada 18 Agustus, sehari setelah proklamasi,” terang Anis.
Hal tersebut, lanjutnya, menunjukkan bahwa bangsa adalah pemilik sah mutlak pendirian Republik Indonesia.
“Bangsa inilah yang membentuk negara. Sementara negara kemudian mendelegasikan sebagian fungsi pelaksanaannya kepada pemerintah dengan segala turunannya,” imbuhnya.
Anis mengingatkan, siapa pun yang diberi amanah untuk mengelola negara dan pemerintahan tidak boleh melupakan sangkan-paran-nya, yakni asal dan tujuan. Asalnya adalah bangsa ini, seluruh rakyat Republik Indonesia. Karena itu, siapa pun yang diberi amanat mengelola negara harus memosisikan diri sebagai representasi rakyat dan bekerja untuk kepentingan mayoritas mereka.
“Bila asal ini dilupakan, negara dan pemerintah akan berubah menjadi entitas tersendiri yang terputus dari bangsa. Dari sinilah muncul pembajakan. Negara dan pemerintah tak lagi mengabdi pada rakyat, tetapi pada kepentingan mereka sendiri,” jelas Anis.
Hidup Miskin...
Ia kemudian memberi ilustrasi: mengapa Rasulullah, sebagaimana kebanyakan Nabi, memilih hidup miskin dan bersama orang miskin. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memilih berada di tengah samudra kehidupan umatnya, sehingga mustahil membuat kebijakan yang menyengsarakan mereka.
“Kalau contoh modern, mungkin bisa kita lihat di Swedia. Para pejabat di sana tidak diberi fasilitas apa pun. Kalau memilih jalan politik, artinya harus bisa hidup bersama dan merasakan apa yang dirasakan rakyat. Dengan begitu, kebijakannya tidak akan menyusahkan rakyat,” imbuhnya.
Menurut Anis, seorang pemimpin haruslah hidup bersama rakyat, bukan sekadar mengatasnamakan rakyat tetapi hidup di menara gading.
“Itu semua terkait dengan kesadaran akan sangkan, asal. Sementara kesadaran tentang paran, tujuan, sebenarnya juga sudah jelas. Mulai dari mencerdaskan kehidupan bangsa hingga menyejahterakan rakyat, semuanya telah diatur secara tegas dalam konstitusi asli kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.
Anis menambahkan, berbagai peristiwa menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 ini patut menjadi bahan renungan. Mulai dari fenomena maraknya pengibaran bendera bajak laut Topi Jerami dalam anime One Piece, hingga aksi demonstrasi besar di Pati pada 13 Agustus lalu.
“Di satu sisi, pengibaran bendera bajak laut Topi Jerami bisa dilihat sebagai titik balik kesadaran nasional baru, terutama di kalangan generasi milenial dan generasi Z. Yaitu kesadaran nasional yang berbasis keadilan dan kesetaraan,” kata Anis.
Ia menambahkan, bila dahulu para pendiri bangsa terinspirasi oleh buku-buku pergerakan untuk melawan kolonialisme, kini anak-anak muda mendapat inspirasi untuk melawan ketidakadilan dari anime yang mereka tonton.
Sementara itu, aksi unjuk rasa besar di Pati menunjukkan bahwa rakyat mulai sadar akan kedudukannya sebagai pemilik sah negara ini. Mereka tidak lagi mau sekadar menjadi objek dari kebijakan pemerintah, apalagi ketika merasa kehadiran negara justru semakin menyusahkan mereka.
Kebijakan...
Gejala ini, menurut Anis, muncul karena rakyat merasakan adanya penyempitan pemahaman kebangsaan dari para pemangku negara. Beragam kebijakan seperti penarikan pajak, pemblokiran rekening, hingga sempitnya lapangan kerja membuat rakyat sadar ada yang salah di negeri ini.
Anis mengingatkan, sejarah telah mencatat bahwa betapapun besar sebuah kerajaan atau negara, keruntuhannya selalu dimulai saat muncul beragam pajak yang membebani rakyat.
“Jangan lupa, negara dan pemerintahan yang semakin menjauh dari sangkan-paran-nya adalah negara yang rapuh dan mudah runtuh atau diruntuhkan,” tegasnya.
Tema yang bertepatan dengan malam kemerdekaan membuat diskusi berlangsung khidmat. Sementara itu, iringan musik dari Sampai GusUran ikut menghangatkan pengajian yang berlangsung hingga larut malam. (*)



