Rabu, 19 November 2025

Murianews, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal dengan jeda waktu 2,5 tahun.

Menurut Khozin, putusan ini bersifat paradoks dan bertolak belakang dengan putusan MK sebelumnya.

Ia menjelaskan, sebelumnya MK telah memberikan enam opsi model keserentakan pemilu.

Namun, putusan terbaru justru membatasi hanya pada satu model keserentakan, MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberikan pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu.

”UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ’lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” kata Khozin dikutip dari Antara, Jumat (27/6/2025).

Ia menambahkan, dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara tegas disebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.

”Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” ujarnya.

Khozin menyayangkan putusan MK yang dianggap bertolak belakang dengan putusan sebelumnya.

Menurutnya, dampak putusan ini akan berpengaruh secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu.

”Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” pungkasnya.

Komentar