Kamis, 20 November 2025

Pertama adalah Bandongan, yakni Kiai membaca dan menjelaskan kitab, sementara santri memberikan makna (makna gandul). Kemudian sorogan, santri membaca teks kitab, dan kiai mendengar sekaligus mengoreksi kesalahan.

”Musyawarah (Bahtsul Masail) untuk mendiskusikan masalah sosial yang terjadi dengan bimbingan kiai. Terakhir Tashnif atau Ta’lif yang mendorong santri untuk menulis karya, melestarikan tradisi ulama terdahulu,” terang Jamal.

Jamal menambahkan, pemahaman ulama Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Kitab Kuning selalu bersifat kontekstual (zamani), sehingga mampu menjadi solusi bagi masalah kontemporer.

Contohnya, Kitab Kuning menjadi dasar Resolusi Jihad untuk menggerakkan semangat nasionalisme.

Contoh lain adalah fatwa yang melarang penamaan non-muslim di Indonesia dengan sebutan kafir, serta fatwa KH. Abdul Wahab Hazbullah mengenai kewajiban membebaskan Irian Barat dari penjajah yang dianggap ghashab (menguasai milik orang lain tanpa izin).

Jamal mendorong para santri untuk bersungguh-sungguh menguasai ilmu tata bahasa (nahwu dan sharaf) serta ilmu hukum (fiqh dan ushul fiqh) secara mendalam.

”Dengan perantara ilmu tersebut, maka Kitab Kuning akan selalu zamani, kontekstual, mampu menjadi solusi dalam setiap masalah yang terjadi,” tutupnya.

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler