Sebagaimana diketahui, di Kota Ukir kerap muncul konflik ekologi akibat eksploitasi alam. Seperti tambang galian C, tambang pasir besi hingga persoalan tambak udang di Karimunjawa yang berujung pada meruncingnya konflik horizontal di masyarakat.
”Naskah ini berangkat dari konflik ekologi yang ada di Jepara. Tetapi juga bersifat universal dan sepanjang masa,” kata Tarisa yang juga anggota Teater Tuman itu.
Lewat naskah itu, Tarisa berharap masyarakat bisa memahami betapa pentingnya menjaga alam. Serta mengakhiri segala bentuk konflik-konflik yang justru akan memecah belah kehidupan mereka.
”Sebagai manusia, kita harus menjadikan alam bukan sebatas tempat yang kita kunjungi. Lebih jauh dari itu, alam adalah tempat kita tinggal, tempat kita hidup,” ujar Tarisa.
Sementara itu, sutradara pentas naskah ”Pramakarya” Afis Nur Mufida mengatakan pentas itu merupakan upaya untuk memberikan warna baru bagi dunia teater di Jepara.
Di mana, dengan tidak hanya menampilkan teatrikal saja, tetapi juga menambah unsur musikalitas yang menjadi nyawa tersendiri bagi pentas teater.
Murianews, Jepara – Keresahan akan konflik lingkungan atau ekologis di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah dirasakan banyak pihak secara mendalam.
Salah satunya diungkapkan Teater Tukul Manfaat (Tuman) Universtias NU (Unisnu) Jepara dalam pentas produksi ke-20. Dalam pentas, Sabtu (17/5/2025) malam itu, mereka mementaskan naskah teater berjudul ”Pramakarya”.
Naskah itu menceritakan tentang kezaliman penguasa bernama Gowong. Diceritakan, Gowong dengan segala kuasa dan kerakusannya ingin menguasai Pulau Pramakarya yang memiliki kekayaan alam melimpah.
Dengan segala cara, Gowong menghasut masyarakat agar mau mengikuti pemikirannya. Dengan memunculkan simbol palu yang telah pecah, naskah itu ingin menunjukkan wujud ketidakadilan penguasa yang berujung pada kerusakan alam.
Pentas selama 60 menit itu berakhir dengan kesadaran sebagian warga yang mengetahui betapa zalimnya Gowong dalam berkuasa.
Warga berusaha menyatukan serpihan-serpihan palu bernama martil itu. Namun usaha mereka sia-sia.
Palu tetap saja tak bisa kembali utuh. Itu menyimbolkan sejatinya masih ada keserakahan-keserakahan di hati mereka.
Naskah garapan Tarisa Rahmi itu lahir atas keresahannya melihat konflik-konflik ekologi yang ada di Bumi Kartini.
Eksploitasi Alam...
Sebagaimana diketahui, di Kota Ukir kerap muncul konflik ekologi akibat eksploitasi alam. Seperti tambang galian C, tambang pasir besi hingga persoalan tambak udang di Karimunjawa yang berujung pada meruncingnya konflik horizontal di masyarakat.
”Naskah ini berangkat dari konflik ekologi yang ada di Jepara. Tetapi juga bersifat universal dan sepanjang masa,” kata Tarisa yang juga anggota Teater Tuman itu.
Lewat naskah itu, Tarisa berharap masyarakat bisa memahami betapa pentingnya menjaga alam. Serta mengakhiri segala bentuk konflik-konflik yang justru akan memecah belah kehidupan mereka.
”Sebagai manusia, kita harus menjadikan alam bukan sebatas tempat yang kita kunjungi. Lebih jauh dari itu, alam adalah tempat kita tinggal, tempat kita hidup,” ujar Tarisa.
Sementara itu, sutradara pentas naskah ”Pramakarya” Afis Nur Mufida mengatakan pentas itu merupakan upaya untuk memberikan warna baru bagi dunia teater di Jepara.
Di mana, dengan tidak hanya menampilkan teatrikal saja, tetapi juga menambah unsur musikalitas yang menjadi nyawa tersendiri bagi pentas teater.
Jaga Keseimbangan Ekologi...
Afis menyebut, pentas itu digarap dengan proses kurang lebih enam bulan. Lamanya proses itu menurutnya karena harus melakukan pendalaman pada karakter dan isu yang diangkat oleh penulis naskah.
”Sajian ini adalah tangkapan imajinasi saya. Dan ingin memberikan sajian yang lebih seru dan baru di Jepara,” ucap Afis.
Sebagaimana Tarisa, Afis juga berharap agar pentas itu bisa menyadarkan semua pihak akan pentingnya menjaga keseimbangan ekologi.
Dia ingin mendorong agar eksploitasi-eskploitasi alam harus dihentikan. Agar generasi mendatang tetap bisa menikmati anugerah Yang Maha Kuasa.
Editor: Zulkifli Fahmi