”Tapi diganti dengan harga meningkat. Makanya petani tetap semangat dan bersyukur,” kata dia.
Hal itu disebabkan karena mundurnya masa musim kemarau pada tahun ini. Di tahun sebelumnya, petani biasanya mulai bisa panen garam sekitar bulan Agustus-September.
Sedangkan di tahun ini, karena masih sering terjadi hujan, petani baru bisa memulai masa panen pada bulan Oktober.
”Kalau tahun kemarin cuacanya kan lebih bagus dibanding tahun ini, hasilnya bagus tahun lalu,” kata petani garam asal Desa Kedungmutih, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak itu.
Tahun ini, Nurudin yang menggarap lahan dengan luas satu bahu atau 3/4 hektare, hanya bisa memanen 10 tombong (wadah panen dari bilah bambu) garam per hari dengan berat sekitar 80 kilogram per tombong.
Murianews, Jepara – Para petani garam di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Jateng) sedang menjalani puncak masa panen. Harganya pun membuat para petani garam semringah.
Ketua Kelompok Petani Garam Mutiara Laut, Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung Suhada menyebutkan, saat ini harga garam di tingkat petani mencapai Rp 1.500-1.600 per kilogram.
Angka itu naik dari harga beberapa waktu sebelumnya, yaitu Rp 900-1.000 per kilogram. ”Peningkatan harga mulai Agustus (2025) lalu. Peningkatannya lumayan, petani menjadi lebih semangat,” kata Suhada, Selasa (14/10/2025).
Suhada mengatakan, garam dari Kota Ukir dikirim ke berbagai daerah. Seperti ke Lampung, Medan, Padang, Jakarta atau wilayah lain.
”Saat ini pasar paling besar di Lampung. Kebutuhan garam di sana besar, dikemas dijual lagi,” sebut Suhada.
Sayangnya, pada musim panen kali ini, cuaca tak begitu bersahabat. Di bulan-bulan ini kemaraunya tak begitu maksimal. Masih sering mendung bahkan hujan. Kondisi itu otomatis berpengaruh pada hasil panen dan pendapatan para petani.
”Kalau panasnya terik, tidak mendung-mendung, 1 hektare lahan tiap hari bisa panen 1 hingga 2 ton. Kalau cuacanya mendung atau bahkan hujan, paling-paling hanya panen 200-300 kilogram per hari, kadang juga tidak panen,” ungkap Suhada.
Padahal, lanjut Suhada, jika membandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, mestinya bulan ini adalah puncak panen atau panen raya. Harapan petani untuk panen raya pun pupus.
Masih Sering Hujan...
”Tapi diganti dengan harga meningkat. Makanya petani tetap semangat dan bersyukur,” kata dia.
Terpisah, Nurudin (33), salah satu petani yang menggarap lahan tambak garam di Desa Bulakbaru, Kecamatan Kedung mengatakan, di musim panen raya tahun ini, hasil produksi garam mengalami penurunan.
Hal itu disebabkan karena mundurnya masa musim kemarau pada tahun ini. Di tahun sebelumnya, petani biasanya mulai bisa panen garam sekitar bulan Agustus-September.
Sedangkan di tahun ini, karena masih sering terjadi hujan, petani baru bisa memulai masa panen pada bulan Oktober.
”Kalau tahun kemarin cuacanya kan lebih bagus dibanding tahun ini, hasilnya bagus tahun lalu,” kata petani garam asal Desa Kedungmutih, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak itu.
Tahun ini, Nurudin yang menggarap lahan dengan luas satu bahu atau 3/4 hektare, hanya bisa memanen 10 tombong (wadah panen dari bilah bambu) garam per hari dengan berat sekitar 80 kilogram per tombong.
Sedangkan di tahun lalu, di masa panen raya ia bisa memanen sekitar 15 tombong per hari.
”Tapi ini untuk harga cenderung bagus, kisaran Rp 120-130 ribu per tombong, kalau tahun lalu Rp 60-70 ribu per tombong. Jadi ada keuntungan untuk petani,” ungkapnya.
Editor: Dani Agus