Mutohar menilai pendidikan tidak seharusnya terjebak pada perdebatan teknis jumlah hari masuk sekolah. Pendidikan saat ini melalui pemerintah harus mampu menerapkan penyesuaian sistem dan pendekatan pembelajaran yang efektif.
Banyak isu lebih besar yang perlu dibenahi, seperti perundungan, dinamika perkembangan siswa, hingga kesiapan guru dalam mengikuti perubahan.
Salah satu persoalan yang dianggap krusial ialah menumpuknya beban administrasi guru yang justru menghambat kreativitas mengajar. Mutohar mencontohkan pemaknaan RPP yang keliru.
”RPP itu kebutuhan guru untuk pedoman mengajar, tapi saat ini malah dimaknai sebagai tugas administrasi yang harus dikumpulkan ke kepala sekolah. Bukan itu esensinya,” jelasnya.
Menurutnya, kurikulum yang dirancang selama ini sebenarnya memiliki tujuan yang bagus. Hanya, interpretasinya kadang mengalami kekaburan karena banyak faktor, salah satunya pola administrasi yang ruwet.
Ia menyoroti praktik pembelajaran yang masih terlalu bergantung pada Lembar Kerja Siswa (LKS) karena guru tak punya waktu untuk berkreasi.
”Tidak sedikit guru yang hanya masuk kelas dan meminta siswa mengerjakan halaman A sampai B karena mereka sudah lelah dengan beban administrasi sehingga tidak tahu akan seperti apa dalam mengajar. Ini membuat proses pembelajaran tidak berkembang,” katanya.
Murianews, Kudus – Pemprov Jateng melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dikabarkan mulai mengembalikan waktu sekolah, dari sekolah lima hari menjadi enam hari. Rencana itu pun menghadirkan perdebatan.
Menanggapi itu, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus (FKIP UMK), Muthohar menilai mestinya perdebatan itu tidak harus jadi fokus utama peningkatan kualitas pendidikan.
Ia menilai, pembenahan sistem pembelajaran yang benar-benar efektif dan menyenangkan bagi siswa jauh lebih penting, ketimbang harus memperdebatkan sekolah lima hari atau enam hari.
”Kalau melihat perkembangan isu ini, saya sendiri mempertanyakan kenapa kita berkutat pada lima atau enam hari sekolah. Yang terpenting bukan itu, tetapi bagaimana membuat sistem pembelajaran yang efektif. Semua pola punya plus minus,” ujarnya.
Menurutnya, penerapan lima hari sekolah memang memberi peluang bagi guru untuk menjaga work-life balance. Namun, di sisi lain proses pembelajaran selama lima hari penuh kerap menimbulkan tantangan.
”Bisa jadi siswa justru capek, kontra produktif. Enam hari pun sama saja, hanya liburnya sehari. Guru juga butuh relaksasi, siswa pun perlu ritme belajar yang tidak monoton,” tambahnya.
Ia berpendapat, salah satu alasan dalam kebijakan ini adalah minimnya pengawasan saat siswa memiliki waktu luang yang kadang memunculkan perilaku negatif. Ia menilai, pertimbangan ini sah-sah saja karena melihat berbagai faktor di lapangan.
”Sah-sah saja mempertimbangkan realitas faktual. Tapi pendidikan harus memberikan pengalaman yang membuat siswa tahu kenapa mereka harus berangkat sekolah. Libur pun harus diarahkan untuk hal produktif dan positif,” ujarnya.
Jangan Terjebak...
Mutohar menilai pendidikan tidak seharusnya terjebak pada perdebatan teknis jumlah hari masuk sekolah. Pendidikan saat ini melalui pemerintah harus mampu menerapkan penyesuaian sistem dan pendekatan pembelajaran yang efektif.
Banyak isu lebih besar yang perlu dibenahi, seperti perundungan, dinamika perkembangan siswa, hingga kesiapan guru dalam mengikuti perubahan.
Salah satu persoalan yang dianggap krusial ialah menumpuknya beban administrasi guru yang justru menghambat kreativitas mengajar. Mutohar mencontohkan pemaknaan RPP yang keliru.
”RPP itu kebutuhan guru untuk pedoman mengajar, tapi saat ini malah dimaknai sebagai tugas administrasi yang harus dikumpulkan ke kepala sekolah. Bukan itu esensinya,” jelasnya.
Menurutnya, kurikulum yang dirancang selama ini sebenarnya memiliki tujuan yang bagus. Hanya, interpretasinya kadang mengalami kekaburan karena banyak faktor, salah satunya pola administrasi yang ruwet.
Ia menyoroti praktik pembelajaran yang masih terlalu bergantung pada Lembar Kerja Siswa (LKS) karena guru tak punya waktu untuk berkreasi.
”Tidak sedikit guru yang hanya masuk kelas dan meminta siswa mengerjakan halaman A sampai B karena mereka sudah lelah dengan beban administrasi sehingga tidak tahu akan seperti apa dalam mengajar. Ini membuat proses pembelajaran tidak berkembang,” katanya.
Harus Dibarengi...
Muthohar menyebutkan, keputusan akhir mengenai kebijakan ini tak akan berdampak serius kalau tidak dibarengi dengan pemanfaatan efektivitas pembelajaran.
”Kalau faktanya di lapangan lima hari justru kontra produktif, lalu diputuskan kembali ke enam hari, saya setuju. Tapi jangan berhenti di situ. Masalahnya bukan sekadar jumlah hari,” tegasnya.
Ia menekankan pembenahan pendidikan harus dilakukan secara berkelanjutan, terutama dalam pengembangan kompetensi guru. Guru diberi pelatihan tapi harus ada tindak lanjut untuk memantau perkembanganya.
”Harus ada pola pembenahan berkelanjutan yang harus diikuti. Siswa adalah subjek, maka harus difasilitasi dengan pembelajaran yang bermakna, pendidikan itu proses membuat anak jadi berkembang,” tutupnya.
Editor: Zulkifli Fahmi