Kamis, 20 November 2025

Perjanjian Linggarjati

Di sepanjang lorong yang menghubungkan berbagai ruangan di Gedung Linggarjati, pengunjung dapat merefleksikan perjuangan dari mendiang Sutan Syahrir dan rekan-rekannya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di hadapan perwakilan Belanda.

Selain itu di bagian barat gedung, pengunjung pun bisa menemukan ruangan yang pernah dipakai oleh Presiden Soekarno untuk bertemu dengan Lord Killearn, seorang utusan asal Inggris, sebelum berlangsungnya Perundingan Linggarjati pada 10-13 November 1946.
Dosen Jurusan ilmu Sejarah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Tendi menjelaskan Perundingan Linggarjati menjadi tonggak awal dalam pengakuan kedaulatan Indonesia secara internasional, meskipun hasilnya, kala itu tidak sepenuhnya memuaskan.

Sebelumnya, Indonesia dan Belanda telah berkali-kali menjalin negosiasi, tetapi tidak pernah menghasilkan kesepakatan.

Meskipun demikian, upaya untuk mencapai kesepakatan dengan Belanda terus berlanjut, dan Gedung Linggarjati terpilih sebagai tempat yang paling netral untuk memfasilitasi perundingan tersebut.

Keputusan untuk menggunakan Linggarjati sebagai tempat perundingan bukanlah kebetulan. Usulan tersebut berasal dari Maria Ulfah Santoso, tokoh berpengaruh dan merupakan anak dari R Mohamad Ahmad (Bupati Kuningan periode 1921-1940).

Dipilihnya Linggarjati sebagai tempat perundingan merupakan langkah yang tepat, karena lokasinya dianggap strategis, sehingga memungkinkan perundingan berlangsung dengan lancar.

Pada saat itu, keamanan di wilayah Linggarjati sudah dijamin serta gejolak di tengah masyarakat pribumi diredam agar tidak memantik gerakan penolakan atas adanya perundingan Indonesia dengan Belanda.

Selama perundingan, Presiden Soekarno telah memberikan mandat kepada Sutan Syahrir untuk memimpin delegasi Indonesia dalam “perang diplomatik” di Linggarjati.

Sutan Syahrir bersama koleganya, yaitu AK Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem berupaya keras merumuskan dasar-dasar kesepakatan. Syahrir bahkan harus menginap di tempat terpisah, agar strategi diplomasi itu tidak bocor atau diketahui pihak Belanda.

Sebagian besar delegasi Indonesia itu menetap sementara di sebuah bangunan yang lokasinya tidak jauh dari Gedung Linggarjati. Nantinya bangunan tersebut dikenal sebagai Gedung Syahrir.

Dalam Perundingan Linggarjati, Belanda mengirim Wim Schermerhorn sebagai ketua delegasi beserta beberapa anggota, yakni Max Von Poll, HJ Van Mook, serta F de Baer.
Perundingan selama lima hari yang dimediasi oleh Lord Killearn itu berlangsung sengit, panas, dan kedua negara selalu mengejar kepentingan masing-masing.

Pertemuan itu bahkan sempat dihentikan sementara, untuk mendinginkan suasana.

Seiring berjalannya waktu, negosiasi panjang dan melelahkan itu mencapai babak akhir. Perundingan Linggarjati menghasilkan sedikitnya 17 pasal yang isinya lebih condong merugikan Indonesia.

Pokok utama perjanjian tersebut menekankan kalau Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Indonesia hanya terdiri dari Sumatera, Jawa, dan Madura, serta pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS itu nantinya harus bergabung sebagai negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda. Isi perjanjian lainnya, Belanda harus meninggalkan Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949.

Beberapa bulan usai negosiasi di Linggarjati, tepatnya pada 25 Maret 1947, isi dari perjanjian tersebut ditandatangani dalam sebuah upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta.

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler