Kamis, 20 November 2025

Menurutnya, jaring sosial ini diperkuat dengan budaya guyub rukun antar masyarakat, sebuah nilai yang jarang ditemukan di bangsa atau negara lain.

”Ada banyak contohnya. Sederhananya, misalkan hidup di desa, kita bisa dengan mudah meminta bumbu ke tetangga. Dan saling berbagi tanpa pernah ada yang merasa diberatkan,” terangnya.

Berbeda dengan Indonesia, Anis membandingkan dengan Jepang yang meskipun berpenghasilan jauh lebih tinggi, namun memiliki tingkat stres yang tinggi.

”Orang Jepang berangkat pagi pulang malam hari. Akhirnya mereka meluapkan kegelisahannya di jalan-jalan atau di tempat karaoke. Itu terjadi karena mereka sulit merealisasikan kemanusiaan secara utuh,” ujarnya.

Konsep kebahagiaan di Indonesia sangat berbeda dengan negara maju yang cenderung mengidentikkan kebahagiaan dengan pemenuhan materi secara kuantitatif, meninggalkan kekosongan rohani.

Anis menyebut fenomena ini sebagai paradoks pertumbuhan: semakin kaya seseorang atau sebuah bangsa, tidak otomatis membuat mereka lebih bahagia. Kebahagiaan awal saat memiliki sesuatu seringkali tidak bertambah dengan kepemilikan selanjutnya.

”Tentu kita harus bersyukur karena masyarakat kita meletakkan kebahagiaan lebih sebagai sesuatu yang bersifat kualitatif, sehingga orang bisa menemukan kebahagiaan tanpa harus lebih dahulu menjadi kaya; kebahagiaan bahkan bisa diraih ketika masih mereka dalam kategori miskin,” ungkap Anis.

Semangat kerukunan...

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler