”Sejak awal, masjid tidak pernah dirombak, hanya sebatas pengecatan kecil-kecilan,” tambahnya.
Masjid ini juga memiliki empat saka atau tiang utama di bagian dalam. Awalnya hanya satu tiang di tengah, namun kemudian dikembangkan menjadi empat, sesuai ciri khas masjid Jawa yang digunakan sebagai tempat pertemuan para wali.
”Satu tiang asli masih disimpan di dalam menara belakang bagian selatan,” terang Gus Lizam.
Benteng tersebut dilengkapi sumur besar untuk menampung air. ”Kalau sungai meluap, air masuk ke benteng. Saat surut, air ikut keluar lagi, sehingga masjid tetap aman,” jelasnya.
Gus Lizam juga menuturkan kisah awal pendirian masjid. Saat itu, Ki Ageng Kafiluddin Jamal, putra Adipati Madura, diminta ayahnya mencari adiknya, Jamil.
”Simbah membangun masjid di tepi sungai supaya tidak diketahui orang, sekaligus untuk berdakwah dengan tenang,” ujarnya.
Murianews, Grobogan – Masjid Baiturrahman di Desa Menduran, Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah memiliki sejarah panjang terkait penyebaran Islam di wilayah setempat.
Bangunan yang berdiri di tepi Sungai Lusi ini kemiripan dengan Masjid Menara Kudus, lengkap dengan menara bata merah yang dibangun tinggi.
Di kompleks masjid itu juga terdapat Pondok Pesantren Al Marom, yang kini diasuh oleh KH Lizamuddin Kafi, putra pendiri ponpes.
KH Lizamuddin Kafi menjelaskan, konstruksi menara masjid berisi kayu kuno, hasil adaptasi dari Masjid Al Aqsha kreasi Sunan Kudus atau Syekh Ja’far Shodiq.
”Dalam dakwahnya, datuk kami, Ki Ageng Kafiluddin, meneladani Sunan Kudus dengan pendekatan emosional yang menyentuh hati masyarakat. Salah satunya dengan membangun masjid yang mengadopsi perpaduan arsitektur Hindu-Jawa dengan Islam,” ujar dia, Sabtu (6/9/2025).
Akulturasi tersebut, kata sosok yang disapa Gus Lizam, menjadi strategi agar masyarakat yang kala itu masih asing dengan ajaran Islam bisa menerimanya dengan mudah.
Tradisi budaya pun tetap dilestarikan, misalnya dengan tabuhan bedug yang merdu untuk menarik perhatian warga. Keistimewaan Masjid yang dibangun sekitar tahun 1700-an itu bukan hanya dari sisi arsitektur.
Dijelasakannya, pada 1988, pakar konstruksi dari Jepang sempat melakukan penelitian dan terkejut karena bangunan berusia ratusan tahun ini tetap kokoh tanpa pernah mengalami perombakan besar.
Berdakwah dengan Tenang...
”Sejak awal, masjid tidak pernah dirombak, hanya sebatas pengecatan kecil-kecilan,” tambahnya.
Masjid ini juga memiliki empat saka atau tiang utama di bagian dalam. Awalnya hanya satu tiang di tengah, namun kemudian dikembangkan menjadi empat, sesuai ciri khas masjid Jawa yang digunakan sebagai tempat pertemuan para wali.
”Satu tiang asli masih disimpan di dalam menara belakang bagian selatan,” terang Gus Lizam.
Selain itu, meski letaknya di tepi Sungai Lusi, namun tak pernah membuat masjid itu terendam banjir. Hal ini berkat benteng bata merah sepanjang 80 meter dengan ketebalan 1,75 meter di sisi selatan.
Benteng tersebut dilengkapi sumur besar untuk menampung air. ”Kalau sungai meluap, air masuk ke benteng. Saat surut, air ikut keluar lagi, sehingga masjid tetap aman,” jelasnya.
Gus Lizam juga menuturkan kisah awal pendirian masjid. Saat itu, Ki Ageng Kafiluddin Jamal, putra Adipati Madura, diminta ayahnya mencari adiknya, Jamil.
Dalam pengembaraannya, ia singgah di kawasan yang kini menjadi Desa Menduran. Setelah memenangkan sayembara di wilayah Pati, ia mendapatkan sebidang tanah yang kemudian dijadikan tempat mendirikan masjid.
”Simbah membangun masjid di tepi sungai supaya tidak diketahui orang, sekaligus untuk berdakwah dengan tenang,” ujarnya.
Diwakafkan...
Pesan terakhir almarhum KH Munawar, pengasuh sebelumnya, adalah agar masjid beserta pondok pesantren yang berdiri di sekitarnya diwakafkan untuk anak cucu dan seluruh umat Islam hingga akhir zaman.
”Ini adalah amanah Abah, bahwa masjid dan pondok pesantren harus menjadi manfaat bagi semua kaum muslimin sampai hari kiamat,” pungkasnya.
Editor: Dani Agus