Sejarah Lomban Tayu Pati, Dimulai dari Era Kolonial Belanda

Umar Hanafi
Jumat, 19 April 2024 16:06:00

Murianews, Pati – Tradisi Lomban Sungai Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah mempunyai sejarah yang cukup panjang. Tradisi yang digelar saat bulan Syawal ini dimulai saat sistem pemerintahan kawedanan di era kolonial Belanda.
Kapala Desa Sambiroto Sulistiono mengungkapkan, Lomban Sungai Tayu digelar saat Belanda masih mejajah Indonesia. Saat itu, pemimpin Kawedanan Tayu yang dipimpin seorang Wedono melarung sesaji di sungai tersebut.
”Pesta lomban kupatan Sungai Tayu. Ini warisan leluhur kita. Halal bi halal. Awalnya dari Bapak Wedono saat zaman Belanda. Selang satu minggu Idulfitri atau 10 hari Idulfitri,” ungkap dia kepada Murianews.com, Jumat (19/4/2024).
Awalnya, sesaji yang dilarung hanya kepala kambing dan ayam putih mulus. Seiring berjalannya waktu, sesaji yang dilarung bertambah kepala kerbau, keempat kaki dan ekornya.
”Sesaji yang di muara itu kepala kerbau kaki dan ekor. Yang hilir ayam putih mulus sama kepala kambing dan kaki beserta ekornya. Lomban artinya prahunan atau naik perahu,” ungkap dia.
Ketua Panitia Lomban Tayu, Agus Mulyono menambahkan, penambahan kepala kerbau ini terjadi sejak tahun 1956. Hingga kini, masyarakat Desa Sambiroto terus menggelar larung kepala kerbau saat tradisi Lomban berlangsung.
Kepala kerbau saat diarak keliling Desa Sambiroto Tayu, Kabupaten Pati. (Murianews/Umar Hanafi)
”Kepala kerbau dilarung dari Bapak Wedono yang dulu. Lomban yang berarti pesta perahu untuk melarung sesaji usai lebaran. Budaya itu terus digelar hingga saat ini dan menjadi tradisi,” imbuh Agus.
Ia mengungkapkan kerbau yang dilarung mempunyai syarat tertentu. Sebelum mencari kerbau, panitia harus mencari hari khusus.
”Kerbau yang dipilih ada hari khususnya,saat memotong juga mencari hari, larungnya juga mencari hari. Biasanya seminggu usai lebaran. Tapi kita pakai penanggalan Oboge. Bukan nasional,” ungkap Agus.
Ia mengungkapkan, tradisi Lomban Tayu ini mempunyai makna khusus. Masyarakat menggelar Lomban Tayu sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Larung kepala kerbau Lomban Sungai Tayu juga sebagai upaya untuk menghindarkan masyarakat dari bencana atau tolak balak.
”Tradisi ini, kepala kerbau ini khusus Sungai Tayu sebagai simbol raya syukur kepada Allah. Masyarakat percaya kepada kerbau menjadi hal yang wajib dilarung. Bila tidak, masyarakat memercayai akan ada korban jiwa,” ungkap dia.
Ia mengungkapkan saat Covid-19 tahun 2021 dan 2022 lalu, hanya kepala kambing yang dilarung. Padat tahun itu, sejumlah masyarakat Kecamatan Tayu meninggal tenggelam di Sungai Tayu.
”Seperti saat Corona, tidak ada kerbau. Kemudian ada korban yang meninggal tenggelam,” tandas dia.
Editor: Supriyadi