Rabu, 19 November 2025

Murianews, Jakarta – Mendikbudristek Nadiem Makarim memutuskan membatalkan kenaikan UKT atau Uang Kuliah Tunggal di tahun ajaran 2024/2025.

Keputusan ini menyusul banyaknya desakan dan protes dari masyarakat terkait implementasi UKT. Sejumlah pihak juga memberikan usulan untuk pembatalan kenaikan UKT tersebut, salah satunya Komisi X DPR RI.

Nediem Makarim usai bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (27/5/2024) menyampaikan terima kasihnya atas masukan dan aspirasi yang diberikan banyak pihak, terutama dari mahasiswa dan para orang tua.

”Kemendikbudristek pada akhir pekan lalu telah berkoordinasi kembali dengan para pemimpin perguruan tinggi guna membahas pembatalan kenaikan UKT dan alhamdulillah semua lancar,” katanya, dikutip dari menpan.go.id, Selasa (28/5/2024).

Ia mengungkapkan Presiden Jokowi telah menyetujui pembatalan kenaikan UKT tersebut. Dalam waktu dekat ini, pihaknya akan mengevaluasi kembali ajuan UKT dari seluruh perguruan tinggi negeri (PTN).

”Saya bertemu Bapak Presiden untuk membahas berbagai hal di bidang pendidikan, salah satunya adalah perihal UKT. Saya mengajukan beberapa pendekatan untuk bisa mengatasi kesulitan yang dihadapi mahasiswa. Terkait implementasi Permendikbudristek, Dirjen Diktiristek akan mengumumkan detil teknisnya,” lanjut Nadiem Makarim.

Sebagai latar belakang, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) diterbitkan sebagai dasar peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi PTN dan PTN-BH.

Penyesuaian SSBOPT itu juga mempertimbangkan fakta meningkatnya kebutuhan teknologi untuk pembelajaran. Itu mengingat perubahan dunia kerja yang juga semakin maju teknologinya, sementara SSBOPT tidak pernah dimutakhirkan sejak tahun 2019.

Kemendikbudristek kemudian mendorong perguruan tinggi agar dapat memberikan pembelajaran yang relevan kepada mahasiswa.

Ada dua hal utama yang menjadi pertimbangan dalam penentuan UKT dalam Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 yakni asas berkeadilan dan asas inklusivitas.

Namun, kenaikan UKT tersebut kemudian direspons sejumlah masyarakat. Sebenarnya, dalam beleid tersebut disebutkan penyesuaian UKT tersebut hanya berlaku bagi mahasiswa baru.

Nadiem menyebut, ada beberapa implementasi yang keliru di PTN dan pemahaman masyarakat yang kurang tepat.

Di antaranya ada kemungkinan PTN keliru saat penempatan mahasiswa dalam kelompok UKT yang tidak sesuai kemampuan ekonominya. Itu dimungkinkan karena data yang diberikan mahasiswa tidak akurat.

Kemudian, ada segelintir PTN yang sebelumnya memiliki UKT rendah atau belum disesuaikan selama lebih dari lima tahun, sehingga kenaikan UKT dirasa tidak wajar.

Selanjutnya, ada kesalahpahaman di mana, kelompok UKT tertinggi berlaku untuk kebanyakan mahasiswa. Padahal secara keseluruhan, hanya 3,7% mahasiswa baru yang ditempatkan pada kelompok UKT tertinggi.

Komentar

Terpopuler