Rabu, 19 November 2025

Murianews, Kudus – Meski bulan suci Ramadan telah berlalu, namun banyak hal masih bisa diambil sebagai pelajaran darinya. Salah satunya adalah momen Lailatul qadar. 

Dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke-148 yang mengangkat tema Mencari Lailatul Qadar Indonesia, Anis Sholeh Ba'asyin mengingatkan bahwa Lailatul qadar harusnya menjadi awal untuk menemukan dan mengaktualisasikan potensi sejati. Baik bagi diri sendiri mau pun bangsa Indonesia.

Penggagas Suluk Maleman tersebut mengawali pemaparannya dengan mengutip ungkapan yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali. Bahwa pada dasarnya lailatul qadar bisa ditemukan setiap hari.

Anis kemudian menjelaskan bahwa sebagaimana terlihat dalam banyak hadits, momentum lailatul qadar muncul sebagai hasil dari dua situasi secara sekaligus.
Pertama, situasi puncak pengelolaan diri secara sungguh-sungguh, atau kalau dalam bulan Ramadan adalah di sepertiga akhirnya.

Kedua, munculnya kesadaran tauhid secara utuh, di mana dualitas yang merupakan wajah eksternal dunia menghilang. Dalam momentum Ramadan, ini disimbolkan dengan tanggal-tanggal ganjil.

Bila dua situasi ini bisa terus diraih dan dipertahankan, maka kemungkinan hadirnya lailatul qadar juga terbuka setiap saat. Untuk menjelaskan hal tersebut, Anis lantas mengutip surat Al Qashash ayat 71 dan 72.

Menurut Anis, kedua ayat ini secara berurutan menjelaskan posisi pengetahuan terkait situasi malam dan siang.

“Di ayat 71 yang berbicara tentang malam, akhir ayat ditutup dengan ungkapan ‘apakah kamu tak mendengar’? Sementara di ayat 72 yang berbicara tentang siang, akhir ayat ditutup dengan ungkapan ‘apakah kamu tak melihat?,” ungkapnya.

Di saat malam, yang selalu identik dengan kegelapan mutlak, satu-satunya sumber informasi adalah lewat pendengaran. Artinya manusia hanya mampu menangkap informasi dari luar untuk mengenali diri dan lingkungannya.

Sementara di saat siang, Al Qur’an memakai diksi bashiroh, bukan nadhiroh. Nadhiroh adalah mata fisik, sementara bashiroh adalah mata hati. Yang menarik, demikian lanjut Anis, bashiroh ini secara etimologis punya kesamaan arti dengan makna asli kosa kata intellectus dalam bahasa Latin.

Artinya, bahkan saat berada dalam situasi terang, manusia tak bisa begitu saja mengandalkan pandangan lahirnya atas apa yang terlihat untuk memahaminya. Karena untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tepat dibutuhkan bashiroh, atau mata hati.

Situasi malam adalah situasi mutlak manusia atas diri dan semesta lingkungannya. Maka posisi yang bisa diambil hanya mendengar informasi yang ada untuk mengenali diri dan semesta lingkungannya. Dan dalam hirarki informasi yang ada, informasi wahyu adalah yang paling tinggi dan presisi nilainya.

Berkait dengan informasi dalam kegelapan, Anis mengutip surat Al Baqarah ayat 17 sampai 20. Menurutnya ayat ini berbicara tentang informasi atau pengetahuan yang identik sebagai cahaya penuntun perjalanan hidup manusia.

Di ayat 17 dan 18, manusia digambarkan mengembangkan dan mengandalkan pengetahuannya yang dikembangkannya secara fragmentatif dan parsial. Pengetahuan semacam ini pada batas tertentu pasti mengalami kebuntuan, sehingga tak mampu dipakai untuk memahami diri dan semesta lingkungannya.

Atau dalam ungkapan Al Qur’an, ‘Allah memadamkan cahayanya’. Sementara dalam ayat 19 dan 20, Al Qur’an tampaknya berbicara tentang pengetahuan batin, semacam kesadaran dari bashiroh yang muncul selintas-selintas dalam situasi batas tertentu. Dalam Al Quran, digambarkan muncul dari ketakutan yang amat sangat.

Tapi kesadaran ini tidak permanen. Mereka hanya berjalan saat ada cahaya dari halilintar di langit, setelah itu berhenti kembali.

“Sementara itu, dari sisi lain, kita juga bisa melihat bahwa salah satu posisi manusia adalah sebagai pengamat untuk memahami diri dan semesta. Menurut Al Qur’an, tiga elemen penting dalam posisi tersebut adalah pendengaran, penglihatan (bashiroh) dan qulb atau hati untuk memahami,” demikian lanjutnya.

Tanpa secara jernih memaksimalkan ketiga elemen tersebut, maka posisi manusia sama dengan ternak, bahkan lebih buruk lagi. Puasa pada dasarnya adalah upaya untuk memaksimalkan ketiga elemen tersebut.

Puasa Memosisikan.....

  • 1
  • 2

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler