Ngaji Suluk Maleman: Sihir Modern dan Solidaritas untuk Palestina
Cholis Anwar
Minggu, 24 Desember 2023 18:36:00
Murianews, Pati – Tragedi kemanusiaan yang menghantam Palestina, menjadi sorotan masyarakat dunia. Terlebih, serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Israel, telah menghilangkan nyawa ribuan orang, bahkan anak-anak dan perempuan.
Peristiwa ini pula yang menjadi perbincangan hangat dalam acara Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke-144 di Rumah Adab Indonesia Mulia pada Sabtu (21/12/2023) malam.
Penggagas serta Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin mengungkapkan keprihatinannya terhadap pembantaian warga Palestina sebagai indikator dari moral peradaban modern yang mencapai titik nadir.
Dalam pidatonya, Anis mengecam tindakan genosida yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia. Menurutnya, peristiwa di Palestina adalah gambaran betapa manusia dapat melakukan kejahatan demi berbagai motif.
Sebagai bentuk solidaritas, Anis meminta Sampak GusUran untuk membawakan lagu ”We Will Not Go Down” yang dipersembahkan oleh Michael Hart untuk mendukung dan memberi semangat kepada warga Gaza.
Anis sendiri sengaja mengenakan surban dan slayer yang identik dengan Palestina sebagai ekspresi empati terhadap tragedi yang terjadi.
Selanjutnya, Anis mencoba membedah tema utama malam tersebut, yaitu ”sihir modern”. Ia menjelaskan, sihir berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna tipu daya atau pesona. Meskipun secara tradisional sihir sering diasosiasikan dengan praktik mistis yang dapat merugikan individu secara personal, Anis menekankan bahwa makna sihir lebih luas.
Anis memandang sihir sebagai bentuk pengelabuan, manipulasi, dan tipu daya untuk mengendalikan kesadaran orang lain. Sihir, menurutnya, bertujuan membuat manusia kehilangan kendali atas kesadarannya sendiri dengan menciptakan harapan dan ketakutan palsu.
Ia mengutip kisah Fir'aun dalam Al Qur'an sebagai contoh bagaimana sihir digunakan untuk menciptakan atmosfer ketakutan di masyarakat.
”Dalam kisah tersebut, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran,” jelas Anis.
Pertama, lanjut Anies, dalam perspektif pikiran Fir’aun, kehadiran Musa disikapi tak lebih dari sekadar jenis penyihir yang lain, karena itu ia mencoba mengadu Musa dengan pasukan ahli sihirnya.
Kedua, sebagai praktisi atau orang yang menguasai ilmu sihir, para penyihir Fir’aun langsung tahu bahwa apa yang dikerjakan Musa bukanlah sihir; karena itu mereka langsung bertaubat dan mengikuti ajaran Musa.
Ketiga, karena sejak awal perspektif pikiran Fir’aun hanya dibangun berdasar fenomena yang bisa dicerapnya saja, maka apa yang terlihat dihadapannya hanya fenomena dua macam penyihir yang sedang bekerja sama melawannya.
”Ada bentuk atau fenomena yang tampak mirip atau bahkan sama, tapi substansinya jauh berbeda atau bahkan berlawanan. Semua begitu tipis jaraknya kalau tidak waspada kita memang akan gampang terjebak. Hanya kecerdasan hati yang mampu merasakan dan membedakannya,” tambah Anis.
Bukan hanya Musa yang pernah dianggap sebagai penyihir oleh penguasa atau masyarakatnya, rata-rata Nabi pernah diposisikan demikian. Oleh Bani Israil, Nabi Sulaiman dituduh membangun kerajaannya melalui sihir.
Nabi Muhammad pun tak tak lepas dari tuduhan serupa. Kelompok Quraisy meminta semua orang untuk menutup telinganya dengan kain bila bertemu Nabi Muhammad, karena menganggap apa yang diucapkan oleh Nabi adalah sihir.
”Sekali lagi kita melihat bahwa bahasa diposisikan sebagai perantara sihir,” lanjut Anis.
Anis menyampaikan, batas antara kebenaran dan sihir, baik dalam konteks bahasa maupun peradaban, dapat menjadi tipis dan sulit dibedakan.
Ia menyoroti pentingnya kecerdasan hati untuk dapat merasakan dan membedakan antara apa yang tampak serupa namun substansinya berbeda.
Karena itu, Anis Sholeh Ba’asyin mengajak para hadirin untuk menjaga hati dan pikiran sebagai kunci menghadapi sihir.
Ia menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap manipulasi bahasa dan narasi adalah esensial untuk membuka pintu masuk sihir yang selalu melibatkan proses keterlenaan.



