Sedangkan untuk pemilihan gubernur, angka partisipasinya justru naik. Pada tahun 2018, angka partisipasinya 60,87 persen. Sedangkan tahun ini naik menjadi 65,37 persen.
Menurut Muntoko, Koordinator daerah (Korda) Akademi pemilu dan demokrasi (APD) Jepara, ada berbagai faktor yang menjadi sebab. Diantaranya, karena pemilihan bupati (Pilkada Jepara 2024) dilaksanakan dengan jarak hanya sembilan bulan dan di tahun yang sama dengan Pemilu 2024.
Pilkada Jepara 2024 juga dilakukan secara serentak atau bersamaan dengan pemilihan gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng). Hal ini bisa saja menjadi salah satu faktor hingga akhirnya partisipasi pemilih turun.
“Sehingga dapat berdampak bagi pemilih mengalami kejenuhan politik (political fatigue), sebagian pemilih dapat menjadi kurang bergairah untuk berpartisipasi di Pilkada. Menurut saya, ke depan harus dievaluasi. Apakah ideal Pemilu dan Pilkada dijalankan di tahun yang sama atau diperlukan jeda yang lebih lama. Karena bisa berdampak, pemilih ada semacam kejenuhan,” jelas Muntoko, Kamis (28/11/2024).
Kemudian, Muntoko juga menilai belum efektif dan maksimalnya sosialisasi dan pendidikan politik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Juga oleh tim sukses pasangan calon maupun partai politik.
Murianews, Jepara – Angka partisipasi pemilih di Pilkada Jepara 2024 rendah. Angkanya turun 8 persen dari Pilkada tahun 2017 lalu.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Jepara (KPU Jepara), angka partisipasi pemilih untuk pemilihan bupati hanya di angka 65,26 persen. Pada tahun 2017 lalu, angka partisipasinya mencapai 73,9 persen.
Sedangkan untuk pemilihan gubernur, angka partisipasinya justru naik. Pada tahun 2018, angka partisipasinya 60,87 persen. Sedangkan tahun ini naik menjadi 65,37 persen.
Menurut Muntoko, Koordinator daerah (Korda) Akademi pemilu dan demokrasi (APD) Jepara, ada berbagai faktor yang menjadi sebab. Diantaranya, karena pemilihan bupati (Pilkada Jepara 2024) dilaksanakan dengan jarak hanya sembilan bulan dan di tahun yang sama dengan Pemilu 2024.
Pilkada Jepara 2024 juga dilakukan secara serentak atau bersamaan dengan pemilihan gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng). Hal ini bisa saja menjadi salah satu faktor hingga akhirnya partisipasi pemilih turun.
“Sehingga dapat berdampak bagi pemilih mengalami kejenuhan politik (political fatigue), sebagian pemilih dapat menjadi kurang bergairah untuk berpartisipasi di Pilkada. Menurut saya, ke depan harus dievaluasi. Apakah ideal Pemilu dan Pilkada dijalankan di tahun yang sama atau diperlukan jeda yang lebih lama. Karena bisa berdampak, pemilih ada semacam kejenuhan,” jelas Muntoko, Kamis (28/11/2024).
Kemudian, Muntoko juga menilai belum efektif dan maksimalnya sosialisasi dan pendidikan politik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Juga oleh tim sukses pasangan calon maupun partai politik.
Sehingga untuk...
Sehingga untuk mendorong meningkatnya partisipasi pemilih, kedepan diperlukan sosialisasi dan pendidikan politik yang masif dan berkelanjutan. Ini merupakan tugas penyelengagra pemilu, partai politik, pemerintah dan stakeholder lainnya.
Pendidikan politik secara masif tersebut harus dilaksanakan secara berkelanjutan, tidak hanya menjelang Pemilu atau Pilkada saja.
“Walaupun,secara umum KPU sudah menjalankan peran-perannya dengan baik,” ujar dia.
Muntoko juga menilai bahwa penyebab partisipasi yang rendah lainnya adalah apatisme politik di masyarakat Jepara masih cukup tinggi. Mungkin bagi para pemilih yang tidak nyoblos (golput) itu sebagian besar berpikirnya adalah siapapun yang terpilih menjadi kepala daerah tidak berdampak signifikan pada kehidupan mereka, sehingga memilih untuk tidak datang ke TPS.
”Tentu ini perlu riset. sehingga ini menjadi tantangan bagi siapapun nanti yang terpilih, yaitu harus mampu membuktikan kepada pemilih, bahwa yang bersangkutan bisa memberikan dampak secara signifikan terhadap kemajuan daerah dan masyarakatnya,” imbuhnya.
Kemudian, lanjut Muntoko, dalam konteks demokrasi lokal yang menjadi tantangan bersama saat ini adalah gejala yang disebutnya sebagai ‘politik makanan cepat saji’ (fast food politics).
Artinya, perilaku pemilih bersifat refleksif dan tidak rasional. Partisipasi pemilih didorong oleh stimulus yang bersifat jangka pendek bukan karena kesadaran bagaimana membangun daerah ke depan yang didasari oleh visi misi dan program. Itu sama halnya dengan pragmatisme politik era mutakhir.
"Tapi dalam konteks Pilkada Jepara, faktor ini perlu ada riset khusus," pungkas eks Komisioner KPU Kabupaten Jepara periode 2018-2023 itu.
Editor: Budi Santoso