Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK RI Asep Guntur Rahayu menyebutkan, kredit fiktif yang disalurkan oleh Bank Jepara Artha selama periode April 2022-Juli 2023 sebanyak 40 kali.
”Nilanya mencapai Rp 263,6 miliar kepada pihak yang identitasnya digunakan oleh MIA (tersangka yang merupakan Dirut PT BMG),” sebut Asep dalam konferensi pers di Gedung KPK RI, Kamis (18/9/2025), dilihat dalam siaran langsung di kanal YouTube KPK RI.
Asep mengungkap, kredit itu dicairkan dengan tanpa dasar analisa yang sesuai dengan kondisi debitur yang sebenarnya.
”Rata-rata per debitur mendapatkan kredit sebesar Rp 7 miliar. Sebetulnya orang-orang tersebut tidak layak mendapatkan kredit. Tapi karena dipalsukan, tidak dilakukan pengecekan dengan benar, sehingga kredit tetap dikucurkan,” sebut Asep.
Kemudian, MIA dibantu beberapa rekannya berinisial AM, JL, dan JT untuk mencari calon debitur yang mau dipinjam nama dengan dijanjikan fee rata-rata Rp 100 juta per debitur. Selain itu juga untuk menyiapkan dokumen pendukung yang diperlukan Bank Jepara Artha.
Di antaranya, berupa perizinan, rekening koran fiktif, foto usaha milik orang lain dan dokumen keuangan yang di mark up agar mencukupi dan seolah-olah layak dalam analisa berkas kredit Bank Jepara Artha.
Murianews, Jepara – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI mengungkap aliran kredit fiktif pada PT BPR Bank Jepara Artha. Parahnya, kredit berniliai miliaran rupiah itu mengucur kepada pengangguran dan ojek online (ojol).
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK RI Asep Guntur Rahayu menyebutkan, kredit fiktif yang disalurkan oleh Bank Jepara Artha selama periode April 2022-Juli 2023 sebanyak 40 kali.
”Nilanya mencapai Rp 263,6 miliar kepada pihak yang identitasnya digunakan oleh MIA (tersangka yang merupakan Dirut PT BMG),” sebut Asep dalam konferensi pers di Gedung KPK RI, Kamis (18/9/2025), dilihat dalam siaran langsung di kanal YouTube KPK RI.
Asep mengungkap, kredit itu dicairkan dengan tanpa dasar analisa yang sesuai dengan kondisi debitur yang sebenarnya.
Debitur yang mendapatkan kucuran kredit itu berprofesi sebagai pedagang kecil, tukang, ojek online, buruh, karyawan hingga pengangguran, yang diangap seolah-olah layak mendapatkan kredit.
”Rata-rata per debitur mendapatkan kredit sebesar Rp 7 miliar. Sebetulnya orang-orang tersebut tidak layak mendapatkan kredit. Tapi karena dipalsukan, tidak dilakukan pengecekan dengan benar, sehingga kredit tetap dikucurkan,” sebut Asep.
Kemudian, MIA dibantu beberapa rekannya berinisial AM, JL, dan JT untuk mencari calon debitur yang mau dipinjam nama dengan dijanjikan fee rata-rata Rp 100 juta per debitur. Selain itu juga untuk menyiapkan dokumen pendukung yang diperlukan Bank Jepara Artha.
Di antaranya, berupa perizinan, rekening koran fiktif, foto usaha milik orang lain dan dokumen keuangan yang di mark up agar mencukupi dan seolah-olah layak dalam analisa berkas kredit Bank Jepara Artha.
Pencairan Kredit...
”(Dokumen-dokumen persyaratan kredit) Dibuat fiktif oleh saudara MIA ini. Nanti, yang dokumennya atau data-datanya dipinjam dapat bagian Rp 100 juta,” jelas dia.
Dalam merealisasikan kredit tersebut Dirut Bank Jepara Artha berinisial JH meminta IN, selaku Direktur Bisnis dan Operasional; AN selaku Kepala Divisi Bisnis, Literasi dan Inklusi Keuangan dan AS selaku Kepala Bagian Kredit, untuk berkordinasi langsung dengan MIA untuk pemenuhan data dan selanjutnya diminta memporoses kredit.
Pemrosesan data untuk pencairan kredit itu dilakukan dengan melanggar aturan yang berlaku di perusahaan.
Pada saat penandatangan perjanjian kredit 40 debitur yang sebagian besar dilakukan di Semarang dan Klaten, yaitu lokasi domisili debitur fiktif, JH meminta AN untuk langsung memproses pencairan kredit ke bagian Pencairan Kredit dan Teller Bank Jepara Artha.
Proses ini tanpa ada proses review kelengkapan kredit. Terutama dalam hal pengikatan agunan/hak tanggunan.
Asep menyampaikan, bahwa pada saat akad kredit dilakukan, objek tanah yang dijadikan agunan, dalam hal ini yang di mark up oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) sebanyak 10 kali lipat, belum lunas dibeli MIA dan baru dilunasi setelahnya, dengan menggunakan dana pencairan kredit.
”Bahwa proses balik nama debitur fiktir dan pengikat agunan atau hak tanggungan baru dimulai PPAT pada saat sudah lunas, yaitu setelah kredit berjalan,” kata Asep.
Editor: Dani Agus