Mbah Gadung dinilai sebagai seorang penyambung lidah atau juru bicara Sunan Muria dalam berdakwah maupun kepentingan lainnya. Karena itu Mbah Gadung sangat dipercaya oleh Sunan Muria.
Selama Sunan Muria belum mengenal bahasa jawa dengan fasih, Mbah Gadung lah yang menjadi juru alih bahasa.
Sunan Muria sendiri bukan hanya dikenal sebagai pendakwah tapi juga seorang yang sering dimintai menyembuhkan orang sakit. Banyak orang yang meminta obat kepadanya agar bisa segera sembuh.
”Saat mendatangi Sunan Muria, masyarakat terkendala perbedaan bahasa. Akan tetapi, Mbah Gadung bisa menjembataninya. Mbah Gadung yang menyampaikan perkataan Sunan Muria dengan pitutur jawa,” ungkap Bambang Sugijarno, salah seorang keturunan Sunan Muria ke-13 kepada Murianews.com.
Mbah Gadung juga berperan dalam setiap perjalanan mendakwahkan Islam bersama Sunan Muria. Terutama ketika Sunan Muria fokus menyebarkan Islam terutama pada kadipaten-kadipaten di Nusantara, termasuk di Daerah Kudus.
Sunan Muria sendiri menyebarkan Islam bukan dengan paksaan maupun mengumpulkan orang-orang. Namun, siapa saja yang ia jumpai dan mereka mau diajari ajaran Islam, maka itulah yang akan diajarkan.
Murianews, Kudus – Pangeran Gadung atau Mbah Gadung selama ini dikenal sebagai juru logistik yang menyajikan kebutuhan makan Sunan Muria dan pengikutnya. Namun, lebih dari itu nyatanya Mbah Gadung sangat berperan dalam upaya penyebaran Islam di tanah Jawa.
Mbah Gadung dinilai sebagai seorang penyambung lidah atau juru bicara Sunan Muria dalam berdakwah maupun kepentingan lainnya. Karena itu Mbah Gadung sangat dipercaya oleh Sunan Muria.
Selama Sunan Muria belum mengenal bahasa jawa dengan fasih, Mbah Gadung lah yang menjadi juru alih bahasa.
Sunan Muria sendiri bukan hanya dikenal sebagai pendakwah tapi juga seorang yang sering dimintai menyembuhkan orang sakit. Banyak orang yang meminta obat kepadanya agar bisa segera sembuh.
”Saat mendatangi Sunan Muria, masyarakat terkendala perbedaan bahasa. Akan tetapi, Mbah Gadung bisa menjembataninya. Mbah Gadung yang menyampaikan perkataan Sunan Muria dengan pitutur jawa,” ungkap Bambang Sugijarno, salah seorang keturunan Sunan Muria ke-13 kepada Murianews.com.
Mbah Gadung juga berperan dalam setiap perjalanan mendakwahkan Islam bersama Sunan Muria. Terutama ketika Sunan Muria fokus menyebarkan Islam terutama pada kadipaten-kadipaten di Nusantara, termasuk di Daerah Kudus.
Sunan Muria sendiri menyebarkan Islam bukan dengan paksaan maupun mengumpulkan orang-orang. Namun, siapa saja yang ia jumpai dan mereka mau diajari ajaran Islam, maka itulah yang akan diajarkan.
Sangat setia...
Mbah Gadung memang dikenal sangat setia kepada Sunan Muria. Kemana saja Sunan Muria pergi pasti akan diikuti. Mulai dari saat Sunan Muria masih sibuk mengembara, Mbah Gadung selalu hadir memastikan persediaan logistik tercukupi.
”Sunan Muria bersama para pengikutnya aktif dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kadipaten banyak yang sudah memeluk Islam, hanya satu yang saat itu sangat sulit yakni Kadipaten Pati. Bahkan, di Kudus sana bisa di dirikan banyak pondok pesantren karena sudah ditanamkan Islam oleh Sunan Muria,” jelasnya.
Lalu saat Sunan Muria sudah memasuki usia tua, Mbah Gadung juga masih setia membersamai. Mbah Gadung juga berperan dalam babad alas daerah Pegunungan Muria, tempat yang dituju Sunan Muria saat usianya menua.
Bahkan di saat perjalanan menuju Muria tidak mudah, Ia tetap membersamai sang Sunan.
”Dulu sebelum ke Pegunungan Muria, Kanjeng Sunan menetap di Jepang Pakis tapi diusir lalu menuju ke Tanjung Mojo, baru setelah itu naik ke sini karena ada palilah (petunjuk). Naik ke sini bersama para pengikutnya,” ujarnya.
Sunan Muria sendiri memilih Pegunungan Muria karena ingin mencari ketenangan. Sebab, Sunan Muria memiliki corak keislaman model sufistik yang tidak ingin terhanyut dengan dunia.
Sebagai seorang pengikut setia, Mbah Gadung menemani perjalanan spiritual Sunan Muria di Pegunungan Muria yang saat itu masih lebat. Kesetiaan Mbah Gadung kepada Sunan Muria teruji hingga akhir hayat. Kini makam Mbah Gadung tidak berjarak terlalu jauh dari Makam Sunan Muria.
Editor: Anggara Jiwandhana