Rabu, 19 November 2025

Murianews, Grobogan – Kabupaten Grobogan saat ini menjadi salah satu tulang punggung penyangga pangan nasional. Produksi pertaniannya bisa diandalkan untuk menjaga ketersediaan pangan.

Namun siapa sangka, kabupaten yang dikenal dengan produksi pertaniannya ini pernah dilanda bencana kelaparan hebat di masa lampau. Bahkan bencana itu terjadi dua kali. Kala itu, ribuan warga meninggal akibat kelaparan.

Bencana kelaparan pertama terjadi pada 1849-an. Ketika itu, Grobogan masih wilayah afdeling bersama Demak. Afdeling merupakan istilah untuk menyebut daerah setingkat dengan kabupaten di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Kala itu, kelaparan membuat penduduk Grobogan dan Demak menurun drastis. Dikutip dari buku ”Grobogan Mempesona: Berbicara Sejarah dan Potensi”, kelaparan hebat itu membuat penduduk Grobogan yang semula sekitar 98.500 pada 1848 menjadi sekitar 9000 jiwa pada 1850. Sementara di Demak, dari 336 ribu jiwa menjadi 120 ribuan jiwa.

Banyaknya warga meninggal akibat kelaparan itu disebut-sebut buntut dari kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel yang diterapkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1830-an.

Sebab, dengan sistem itu, pemerintah kolonial menentukan komoditas yang mesti diproduksi petani Jawa. Selain itu, petani juga harus menyerahkan seperlima hasil panen kepada pemerintah kolonial.

Belum adanya sistem irigasi membuat para petani gagal panen. Walhasil, kelaparan hebat hingga membuat ribuan penduduk meninggal pun terjadi.

Pada 1864, pemerintahan atau ibu kota kabupaten dipindah dari Kota Grobogan ke Kota Purwodadi. Perpindahan itu disebut-sebut berkaitan dengan kelaparan hebat pada belasan tahun sebelumnya.

Kejadian kelaparan hebat kedua berlangsung pada 1900-an, atau 50 tahun usai peristiwa pertama. Namun, tidak disebutkan jumlah korban jiwa pada peristiwa paceklik kedua tersebut.

Editor: Zulkifli Fahmi

Alun-Alun Purwodadi, Grobogan. (Murianews/Saiful Anwar)

Komentar