Rabu, 19 November 2025

Murianews, Pati – HGB PG Pakis (Hak Guna Bangunan Pabrik Gula Pakis) di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati segera habis. Petani Pundenrejo kembali menggelar aksi, Jumat (5/7/2024).

Mereka menuntut Kementrian ATR/BPN agar tidak memberikan bentuk ijin baru kepada PG Pakis atau PT Laju Perdana Indah (PT LPI) di atas lahan garapan nenek moyang Petani Pundenrejo.

Aksi petani Pundenrejo dilakukan dengan memasang banner spanduk berisi penolakan segala bentuk ijin baru untuk PG Pakis.  Ijin itu meliputi lahan seluas 7,3 hektar yang saat ini dalam status konflik dengan Petani Pundenrejo.

”Kami menuntut Kementrian ATR/BPN untuk tidak menerima permohonan izin baru dalam bentuk apapun dari PG.Pakis/PT Laju Perdana Indah di atas tanah nenek moyang kami,” ujar Endang salah satu petani Pundenrejo yang tergabung dalam Germapun (Gerakan Masyarakat Pundenrejo).

Mereka juga mendorong agar Kementrian ATR/BPN menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah nenek moyang para petani dan merupakan lahan konflik.

”Kami mendorong agar Kementerian ATR/BPN RI untuk segera mencabut klaim PG Pakis atas lahan kami dan segera meredistribukasikannya kepada kami,” tambah Endang.

Sebelumnya, para Petani Pundenrejo telah melakukan berbagai upaya untuk mengambil alih hak atas HGB PG Pakis tersebut. Mulai dari mendatangi langsung ke Kementrian ATR/BPN untuk audiensi, mengirim pelaporan ke Komnas HAM, serta audiensi dengan pihak pemerintah daerah Kabupaten Pati.

Mereka juga menggelar sejumlah aksi untuk menuntut lahan tersebut. Namun, proses yang panjang itu sampai saat ini tidak membuat pemangku kebijakan berpihak kepada kaum Petani Pundenrejo.

Berdasarkan pengakuan petani Pundenrejo, lahan konflik itu merupakan peninggalan nenek moyang mereka. Pada tahun 1965, para petani terpaksa kehilangan ladang mereka lantaran pihak tentara menguasai lahan mereka.

Seiring berjalannya waktu, lahan di Desa Pundenrejo itu ternyata berstatus HGB yang dikuasai PT BAPPIPUNDIP. Status HGB tersebut kemudian diperpanjang dari tahun 1994 hingga 2024.

Namun lahan tersebut tidak dimanfaatkan. Petani Pundenrejo pun berinisiatif mengelola tanah itu sebagai lahan pertanian sejak 1999. Mereka menilai lahan itu merupakan milik nenek moyangnya. Warga pun merasa sudah mendapatkan hak mereka.

Namun, petaka bagi petani Pundenrejo kembali datang pada tahun 2020 lalu. Saat pandemi Covid-19 melanda, tanaman para petani tiba-tiba dirusak oleh sejumlah orang yang tak dikenal.

Semenjak itu, konflik lahan di Desa Pundenrejo memanas. Mereka sering kali berhadapan dengan orang yang tak dikenal.

Editor: Budi Santoso

Komentar

Terpopuler