Rabu, 19 November 2025

Murianews, PatiMandailing atau dikenal juga Mandeling berusaha bertahan di tengah gempuran perkembangan zaman. Seni asal pesisir Kabupaten Pati utara ini jarang digelar di masa sekarang. 

Kesenian itu mempunyai bentuk unik. Seniman memadukan nyanyian, koreo serta drama di dalamnya. Tokoh Adam, Ibrahim, Sinyo, dan Nonik dimunculkan dalam kesenian ini. Tokoh-tokoh itu merepresentasikan bangsa Arab, Belanda, China dan Indonesia. 

Pementasan kesenian ini berlatar di atas kapal. Sejumlah tokoh lintas bangsa itu bertemu saat hendak ke pulau Jawa untuk berdagang. Mereka pun berinteraksi. Lagu-lagu lawas yang jarang terdengar dilantunkan. Lagu tersebut khas melayu terkadang juga disisipi dengan pantun.

Meskipun kebanyakan pemain berusia lanjut, mereka masih semangat memainkan berbagai peranan. Kerutan di wajahnya tak mampu ditutupi meskipun memakai make up. Meski begitu semuanya tampak antusias saat memainkan kesenian khas pesisir.

Sugiyanto, salah satu pemain Mandailing asal Desa Alasdowo, Kecamatan Dukuhseti mengatakan mengenal kesenian itu sejak tahun 1970. Ia pun memperkirakan usia kesenian lebih lawas lagi.

”Dulu awalnya suka lihat pentas Mandeling kemudian diajak bergabung. Sudah ikut sejak usia 18 tahun kalau sekarang usia saya 74 tahun,” ujar dia. 

Dia mengatakan kesenian itu sudah turun temurun. Bahkan lagu yang dibawakan juga sesuai yang diajarkan sebelumnya. Sehingga dia juga tak memahami secara persis makna dari lagu yang dibawakan.

”Selain bik layang tabik ada banyak lagu lawas. Seperti gembala sapi, turijal, fatimah, adek suntaria. Tapi sekarang jarang yang bisa mengiringinya. Sepertinya lagu melayu,” imbuhnya.

Suyoto, salah satu tim dari Komunitas Sinar Buana lainnya mengungkapkan para pemain Mandeling sekarang ini memang telah banyak yang berumur. Rata-rata pemain di kelompoknya berusia 70 tahun. Itupun dikatakannya merupakan generasi ketiga.

”Kalau Sinar Buana berdiri sejak 2008 sempat moncer tahun 2011 hingga 2013. Para pemainnya biasanya belajar dari ayah atau mbahnya dulu,” tutur dia.

Meski telah berumur, namun para pemainnya tetap bertahan lantaran ingin nguri-uri kesenian yang sudah lama terpendam. Mereka berharap kesenian itu nantinya dapat tetap lestari.

”Biasanya dimainkan saat sedekah bumi atau saat hari kemerdekaan. Kadang juga saat ada orang hajatan,” tandas dia.

Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pati Paryanto mengaku berusaha melestarikan kesenian ini. Pihaknya pun sengaja menghadirkan seni Mandailing dalam festival Wangi Pradesa akhir pekan lalu. Terlebih kesenian itu memiliki nilai sejarah yang kuat.

”Mandailing menunjukkan terjadinya akulturasi budaya sebagai dampak perdagangan di era jalur rempah dulu. Ini menunjukkan Pati memiliki peradaban yang besar,” kata dia.

Ia pun berharap masyarakat ikut melestarikan kesenian ini. Terutama generasi muda. Ia menyisipkan harapan agar para pemuda tertarik melestarikan  dan mengembangkan kesenian ini. 

Editor: Supriyadi

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler