Rabu, 19 November 2025

Murianews, Kudus – Perkembangan konten hoaks kian berkembang seiring bertumbuhnya teknologi. Salah satunya adanya tekonologi artificial intelligence (AI) yang melaju pesat.

Direktur Action Lab Indonesia Arif Perdana mengatakan, hadirnya AI Generatif (GenAI) menjadi tantangan ke depan. Sebab, GenAI mampu menciptakan konten palsu yang nyaris tidak dapat dibedakan dari yang asli.

Arif menyebut, deepfake menjadi bagian GenAI yang sangat berbahaya. Sebab, teknologi ini memungkinkan untuk meniru suara, karakter, intonasi, gaya berbicara seseorang.

’’Belum hilang dari ingatan kita deepfake video mantan Presiden Soeharto dan Presiden Jokowi berbahasa mandarin menjelang pilpres 2024. Teknologi ini membuka kotak Pandora baru dalam dunia disinformasi,’’ kata Arif.

Bahaya lainnya, deepfake juga dapat digunakan untuk aksi kejahatan, salah satunya penipuan. Ini tentunya akan membuat psikologi korbannya langsung terperdaya karena mereka akan mempercayai dibalik suara tersebut orang yang dikenal.

Selain ancaman hoaks, kebocoran data juga menghantui dalam Pilkada 2024 mendatang. Penyalahgunaan data pemilih dan manipulasi electoral menjadi momok baru integritas pentas demokrasi.

’’Ini bukan hanya soal privasi, tetapi juga tentang kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi kita. Bayangkan skenario di mana data pribadi pemilih jatuh ke tangan yang salah, digunakan untuk micro-targeting kampanye disinformasi, atau bahkan untuk memanipulasi hasil pemilu,’’ katanya.

Dalam diskusi ’’Potensi Misinformasi di Pilkada. Apa tata kelola dan mitigasinya?’’ yang digelar secara virtual, Arief menyebut perlu pendekatan multidimensi yang melibatkan semua elemen masyarakat.

Bagi awak media, tentunya jurnalisme investigatif yang tajam dan kritis harus menjadi garda terdepan dalam memberantas praktik-praktik manipulasi informasi.

Media harus berani mengedepankan verifikasi fakta yang ketat. Bahkan, jika itu berarti melawan arus popularitas atau sensasionalisme.

Jurnalis harus kembali ke akar profesi mereka: mengungkap kebenaran, bukan sekadar menjadi corong informasi. Namun, beban ini tidak bisa hanya dipikul oleh media. Masyarakat harus bertransformasi dari konsumen pasif menjadi penjaga aktif informasi.

’’Sikap skeptis dan kritis terhadap setiap informasi yang diterima harus menjadi budaya baru di era post-truth ini,’’ katanya di diskusi dalam rangkaian Road to Indonesia Digital Conference 2024 yang digelar AMSI bekerja sama dengan Monash University, Selasa (13/8/2024).

Komentar

Terpopuler