Rabu, 19 November 2025

Murianews, Kudus – Pakar Komunikasi Publik Universitas Gadjah Mada, Nyarwi Ahmad pernah mengungkapkan timbulnya potensi tsunami hoaks di Pilkada 2024 mendatang. Ia menyebut proyeksinya minimal 2500 hingga 10.000 hoaks yang beredar.

Menanggapi pernyataan itu, Direktur Action Lab Indonesia Arif Perdana angka itu bukan sekadar statistik, tapi telah menjadi sebuah potret buram dari tantangan demokrasi di era digital.

Ia menyebut, Pilkada yang mestinya jadi pesta demokrasi lokal, kini berpotensi menjadi ajang perang informasi. Hoaks di Pilkada memiliki karakteristik yang lebih spesifik dan lokal.

’’Isu-isu yang beredar seringkali mencerminkan dinamika dan ketegangan sosial di daerah tersebut. Ini membuat penyebaran hoaks dalam Pilkada menjadi lebih sulit dideteksi dan ditangani secara seragam,’’ kata Arif Perdana.

Dalam diskusi ’’Potensi Misinformasi di Pilkada. Apa tata kelola dan mitigasinya?’’, Arief mengatakan, tema yang beredar juga lebih beragam dengan kecenderungan berulang.

Isu SARA juga masih menjadi promadona, dengan tuduhan tak berdasar tentang keberpihakan kandidat terhadap kelompok tertentu. Kecurangan pemilu, rumor kesehatan kandidat, hingg isu penggunaan dana kampanye ilegal menjadi amunisi dalam perang informas ini.

’’Yang memprihatinkan, isu-isu ini seringkali diungkit kembali dari Pilkada sebelumnya, menunjukkan bahwa kita belum belajar dari pengalaman masa lalu,’’ katanya di diskusi rangkaian Road to Indonesia Digital Conference 2024 yang digelar AMSI bekerja sama dengan Monash University.

Bahkan, sumber hoaks tak hanya dari luaran. Aktor-aktor internal seperti kandidat, tim sukses, bahkan penyelenggara pemilu sendiri, baik sengaja maupun tidak, dapat menjadi sumber disinformasi.

Fenomena ini menunjukkan, krisis integritas informasi telah merasuk ke inti proses demokrasi. Itu tak lagi sekadar masalah teknis, tetapi menyangkut etika dan integritas seluruh pemangku kepentingan dalam proses demokrasi.

’’Bila dilihat dari sisi psikologi, masyarakat saat ini itu justru bukan ingin mencari kebenaran informasi. Namun, mereka lebih cenderung mencari pembenaran dari persepsi mereka,’’ imbuhnya.

Penyebaran hoaks sendiri paling banyak disebarkan melalui WhatsApp. Adanya grup-grup tertutup menjadi sarng penyebaran informasi yang sulit diawasi.

Kemudian, platform sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya juga menjadi ladang penyerbaran hoaks. Algoritma yang memprioritaskan konten sensasional, viralitas hastag, dan konten manipulasi yang mempengaruhi emosi menjadi pupuk penyebaran disinformasi.

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler