DBS kini telah ditangkap Polda Bali bersama belasan anggota komplotannya. Mereka mendapatkan data pribadi tersebut dari Dark Web dan kemudian menjualnya kembali.
’’Otak kejahatan, DBS merupakan lulusan SMK di salah satu sekolah kejuruan di Kota Denpasar,’’ kata Ranefli, seperti dikutip dari Antara.
’’Masih ada yang jadi DPO karena saat menggeledah kantor di Gatot Subroto kantor sudah kosong. Kami masih cari, sepertinya saat kami ke TKP ada yang memberi tahu ke sana sehingga saat kami tiba sudah kosong,’’ kata Ranefli.
Berdasarkan pemeriksaannya, korban kebanyakan masyarakat yang ingin membuat akun aplikasi tertentu. Ia menduga, hasil kejahatan komplotan DBS digunakan untuk kejahatan lainnya seperti judi online.
Meski begitu, ia belum bisa menyimpulkan adanya dugaan hasil kejahatan DBS digunakan untuk akun buzzer.
Murianews, Denpasar – DBS, otak penjualan 300 ribu data pribadi di Bali ternyata hanya lulusan SMK. Itu diungkapkan Direktur Reserse Siber Polda Bali AKBP Ranefli Dian Candra di Denpasar, Bali, Rabu (16/10/2024).
DBS kini telah ditangkap Polda Bali bersama belasan anggota komplotannya. Mereka mendapatkan data pribadi tersebut dari Dark Web dan kemudian menjualnya kembali.
’’Otak kejahatan, DBS merupakan lulusan SMK di salah satu sekolah kejuruan di Kota Denpasar,’’ kata Ranefli, seperti dikutip dari Antara.
Selain 12 orang tersangka yang sudah ditahan oleh Polda Bali, penyidik masih memburu beberapa orang lainnya yang menjadi DPO terlibat kasus tersebut.
’’Masih ada yang jadi DPO karena saat menggeledah kantor di Gatot Subroto kantor sudah kosong. Kami masih cari, sepertinya saat kami ke TKP ada yang memberi tahu ke sana sehingga saat kami tiba sudah kosong,’’ kata Ranefli.
Berdasarkan pemeriksaannya, korban kebanyakan masyarakat yang ingin membuat akun aplikasi tertentu. Ia menduga, hasil kejahatan komplotan DBS digunakan untuk kejahatan lainnya seperti judi online.
Meski begitu, ia belum bisa menyimpulkan adanya dugaan hasil kejahatan DBS digunakan untuk akun buzzer.
’’Yang jelas pengakuannya untuk masyarakat yang membutuhkan kartu ilegal untuk membuat akun atau aplikasi apapun. Tetapi, patut kita duga peredaran cukup marak,’’ katanya.
Ranefli menjelaskan, aksi kejahatan DBS sudah dilakukan sejak awal 2022 lalu. Saat itu, ia mencuri data pribadi untuk registrasi kartu SIM secara ilegal dan menjual kode One Time Password (OTP).
Bersama dua temannya, ia kemudian membuka usaha konter sembari menjual kartu SIM yang sudah teregistrasi secara ilegal.
Mulanya, DBS dan dua temannya itu mengguakan ponsel dengan NIK yang didapat dari dark web secara manual dalam menjalankan aksinya.
Setelah lima bulan, DBS kemudian membeli dua unit laptop dan modem pool agar bisa mendapatkan lebih banyak meregistrasi kartu SIM. Hingga Agustus 2024, total komplotan ini memiliki 168 unit modem pool.
Seiring dengan besarnya pendapatan dan tingginya permintaan dari pelanggan, DBS kemudian merekrut anggota baru yang rata-rata berusia remaja.
Belasan anggota komplotan pencurian data pribadi itu kemudian ditargetkan meregistrasi 3.000 kartu dalam waktu 24 jam dengan sistem kerja secara bergantian.
Menurut keterangan Ranefli, untuk menarik pelanggan, DBS bersama anggotanya membuat empat website sebagai media promosi dan transaksi.
Masyarakat yang ingin memiliki kartu ilegal tinggal mendownload aplikasi, memilih layanan yang ingin didaftarkan lalu melakukan transaksi.
’’Nanti akan ditanya aplikasi apa. Di websitenya sudah terarah tergantung pemesannya mau apa,’’ katanya.