Olah Limbah Tahu Jadi Biogas, Puluhan Warga Kudus Hemat Elpiji Hampir Sedekade
Anggara Jiwandhana
Rabu, 5 Juli 2023 15:55:08
Masyarakat pun kemudian berbondong-bondong untuk melakukan protes. Mereka merasa, limbah yang dihasilkan pabrik tahu menyebabkan lingkungan sekitar mereka tercemar.
Namun cerita ini, tidak berlaku di pabrik tahu di Dukuh Krajan, Desa Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Masyarakat setempat bahkan berharap pabrik tahu itu langgeng umurnya.
Bukan tanpa alasan, itu karena pabrik tahu tersebut menghasilkan biogas yang biasanya mereka gunakan untuk keperluan memasak setiap hari selama hampir satu dekade ini. Dimulai tahun 2014 silam, pabrik tahu ini konsisten menyuplai biogas ke puluhan rumah warga.
Baca: Dua Pabrik Limbah Tahu di Kudus yang Didemo Warga Akhirnya DitutupHanya butuh waktu tiga bulan saja sejak dibangun instalasi tersebut, puluhan warga sudah bisa merasakan dampaknya.
”Wah saya sudah sejak sepuluh tahun lalu sudah jarang pakai gas elpiji, saya dapat dari sini (pabrik tahu),” tutur Madi, salah satu warga yang rumahnya hanya berjarak tiga meter dari pabrik.
Dia bahkan tidak perlu memusingkan berapa harga gas elpiji hari ini hingga mau beli di mana. Prosentase membeli bahan bakar yang kerap disapa “gas melon” itupun juga bisa dihitung dengan jari selama kurun waktu beberapa waktu terakhir.
”Saya kerja di sini juga kebetulan, jadi tahu kapan harus pakai gas karena pabriknya pas tutup, tapi sangat jarang, benar-benar menghemat pengeluaran gas kami dalam sepuluh tahunan ini,” tuturnya.
Gas yang dihasilkan pun tidak berbau. Nyalanya pun biru dan tak kalah dari gas produksi pemerintah. Cara menggunakannya juga terbilang mudah dan aman. Cukup membuka keran gas di atas kompor yang tersalur dari pipa tempat penampungan, kemudian sulut dengan api dan jadi. Gas siap digunakan.
”Kalau selama ini nggak ada komplain. Cuma memang kalau pas libur itu gasnya agak merah, nggak biru kaya biasanya,” pungkasya.
[caption id="attachment_393412" align="alignleft" width="1280"]

Instalasi pengolahan limbah ampas tahu di Desa Kedungdowo (Murianews/Anggara Jiwandhana)[/caption]
Pengawas Instalasi biogas pabrik tahu Dukuh Krajan Suripno, menuturkan di awal pemanfaatannya biogas pabrik tahu bisa dikirim ke 30 rumah warga.
”Saat kami memproduksi hampir lima kwintal kedelai per harinya, jumlah pengguna gas ini bisa mencapai 30-an rumah atau satu RT,” ucap Suripno saat ditemui
Murianews.com, Rabu (5/7/2023).
Seiring berjalannya waktu yang hampir sepuluh tahun ini memang produksinya mulai berkurang. Meski begitu, nyala api yang berasal dari limbah tahu tersebut masih dirasakan puluhan rumah yang ada di sekitar pabrik.Mereka juga hanya dikenakan biaya yang terbilang ringan, yakni Rp 5 ribu saja. Itu sebagai ganti perawatan bilamana ada pipa yang bocor saja.”Selama hapir sepuluh tahun ini tidak ada komplain sama sekali, kadang kalau pas pabrik libur ada yang bilang gasnya kurang lancar, mungkin memang ya karena tidak ada penggantian air limbah baru di penampungannya,” tututrnya.
Baca: Polsek Bae Turun Tangan Tangani Pembuangan Limbah Tahu di Sungai DaweSecara teknis, lanjut dia, memang ketika pabrik beroperasi, maka aka nada limbah baru yang diproses untuk menjadi biogas. Jika tidak, warga hanya bisa memanfaatkan sisa gas yang ada di penampungan tanpa adanya pembaharuan.”Tapi kalau sehari masih bisa tercukupi, mungkin saat libur panjang dan hal lain yang menyebabkan produksi libur, barulah mereka mungkin pakai gas elpiji itu,” ujarnya.Meski tidak benar-benar menghilangkan ketergantungan masyarakat akan gas melon, namun Suripno mengaku cukup senang karena instalasi yang merupakan bantuan dari pemerintah tersebut bisa ia rawat dan bermanfaat bagi masyarakat setempat.”Setidaknya ini bisa meringankan biaya untuk memasak mereka,” pungkasnya.Dalam limbah tahu sendiri memilki sejumlah unsur senyawa gas. Di antaranya gas metana (CH4), ammonia (NH3), Hydrogen Sulfida (H2S), dan karbondioksida (CO2). Jika limbah tersebut didiamkan dalam sebuah penampungan dan berfermentasi dengan kurun waktu tertentu, maka gas metana akan menyumbul keluar dan bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif.Cara kerjanya sama saja dengan cara kerja biogas dari limbah kotoran ternak yang saat ini mulai digaungkan oleh pemerintah yang mulai mencari energy alternatif dan tentunya energi baru terbarukan (EBT).Data dari Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup (PKPLH) sendiri, ada sekitar 37 instalasi pengolahan limbah yang digunakan untuk pembuatan biogas. Tidak hanya dari ampas tahu saja, melainkan juga dari hewan ternak ataupun jamban komunal di pesantren.Pendirian intalasi –instalasi tersebut diharapkan bisa membuat masyarakat masuk ke fase mandiri energy dan akhirnya mengurangi konsumsi energi bersubsidi serta bisa semakin mengurangi kerusakan lingkungan.https://youtu.be/JD2WSEMyOX8Editor: Supriyadi
Murianews, Kudus – Limbah tahu biasanya menjadi salah satu penyebab tercemarnya lingkungan di sekitar pabrik produksi tahu. Biasanya, banyak oknum produsen nakal yang enggan membuat tampungan limbah hingga akhirnya langsung dialirkan ke sungai.
Masyarakat pun kemudian berbondong-bondong untuk melakukan protes. Mereka merasa, limbah yang dihasilkan pabrik tahu menyebabkan lingkungan sekitar mereka tercemar.
Namun cerita ini, tidak berlaku di pabrik tahu di Dukuh Krajan, Desa Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Masyarakat setempat bahkan berharap pabrik tahu itu langgeng umurnya.
Bukan tanpa alasan, itu karena pabrik tahu tersebut menghasilkan biogas yang biasanya mereka gunakan untuk keperluan memasak setiap hari selama hampir satu dekade ini. Dimulai tahun 2014 silam, pabrik tahu ini konsisten menyuplai biogas ke puluhan rumah warga.
Baca: Dua Pabrik Limbah Tahu di Kudus yang Didemo Warga Akhirnya Ditutup
Hanya butuh waktu tiga bulan saja sejak dibangun instalasi tersebut, puluhan warga sudah bisa merasakan dampaknya.
”Wah saya sudah sejak sepuluh tahun lalu sudah jarang pakai gas elpiji, saya dapat dari sini (pabrik tahu),” tutur Madi, salah satu warga yang rumahnya hanya berjarak tiga meter dari pabrik.
Dia bahkan tidak perlu memusingkan berapa harga gas elpiji hari ini hingga mau beli di mana. Prosentase membeli bahan bakar yang kerap disapa “gas melon” itupun juga bisa dihitung dengan jari selama kurun waktu beberapa waktu terakhir.
”Saya kerja di sini juga kebetulan, jadi tahu kapan harus pakai gas karena pabriknya pas tutup, tapi sangat jarang, benar-benar menghemat pengeluaran gas kami dalam sepuluh tahunan ini,” tuturnya.
Gas yang dihasilkan pun tidak berbau. Nyalanya pun biru dan tak kalah dari gas produksi pemerintah. Cara menggunakannya juga terbilang mudah dan aman. Cukup membuka keran gas di atas kompor yang tersalur dari pipa tempat penampungan, kemudian sulut dengan api dan jadi. Gas siap digunakan.
”Kalau selama ini nggak ada komplain. Cuma memang kalau pas libur itu gasnya agak merah, nggak biru kaya biasanya,” pungkasya.
[caption id="attachment_393412" align="alignleft" width="1280"]

Instalasi pengolahan limbah ampas tahu di Desa Kedungdowo (Murianews/Anggara Jiwandhana)[/caption]
Pengawas Instalasi biogas pabrik tahu Dukuh Krajan Suripno, menuturkan di awal pemanfaatannya biogas pabrik tahu bisa dikirim ke 30 rumah warga.
”Saat kami memproduksi hampir lima kwintal kedelai per harinya, jumlah pengguna gas ini bisa mencapai 30-an rumah atau satu RT,” ucap Suripno saat ditemui
Murianews.com, Rabu (5/7/2023).
Seiring berjalannya waktu yang hampir sepuluh tahun ini memang produksinya mulai berkurang. Meski begitu, nyala api yang berasal dari limbah tahu tersebut masih dirasakan puluhan rumah yang ada di sekitar pabrik.
Mereka juga hanya dikenakan biaya yang terbilang ringan, yakni Rp 5 ribu saja. Itu sebagai ganti perawatan bilamana ada pipa yang bocor saja.
”Selama hapir sepuluh tahun ini tidak ada komplain sama sekali, kadang kalau pas pabrik libur ada yang bilang gasnya kurang lancar, mungkin memang ya karena tidak ada penggantian air limbah baru di penampungannya,” tututrnya.
Baca: Polsek Bae Turun Tangan Tangani Pembuangan Limbah Tahu di Sungai Dawe
Secara teknis, lanjut dia, memang ketika pabrik beroperasi, maka aka nada limbah baru yang diproses untuk menjadi biogas. Jika tidak, warga hanya bisa memanfaatkan sisa gas yang ada di penampungan tanpa adanya pembaharuan.
”Tapi kalau sehari masih bisa tercukupi, mungkin saat libur panjang dan hal lain yang menyebabkan produksi libur, barulah mereka mungkin pakai gas elpiji itu,” ujarnya.
Meski tidak benar-benar menghilangkan ketergantungan masyarakat akan gas melon, namun Suripno mengaku cukup senang karena instalasi yang merupakan bantuan dari pemerintah tersebut bisa ia rawat dan bermanfaat bagi masyarakat setempat.
”Setidaknya ini bisa meringankan biaya untuk memasak mereka,” pungkasnya.
Dalam limbah tahu sendiri memilki sejumlah unsur senyawa gas. Di antaranya gas metana (CH4), ammonia (NH3), Hydrogen Sulfida (H2S), dan karbondioksida (CO2). Jika limbah tersebut didiamkan dalam sebuah penampungan dan berfermentasi dengan kurun waktu tertentu, maka gas metana akan menyumbul keluar dan bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif.
Cara kerjanya sama saja dengan cara kerja biogas dari limbah kotoran ternak yang saat ini mulai digaungkan oleh pemerintah yang mulai mencari energy alternatif dan tentunya energi baru terbarukan (EBT).
Data dari Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup (PKPLH) sendiri, ada sekitar 37 instalasi pengolahan limbah yang digunakan untuk pembuatan biogas. Tidak hanya dari ampas tahu saja, melainkan juga dari hewan ternak ataupun jamban komunal di pesantren.
Pendirian intalasi –instalasi tersebut diharapkan bisa membuat masyarakat masuk ke fase mandiri energy dan akhirnya mengurangi konsumsi energi bersubsidi serta bisa semakin mengurangi kerusakan lingkungan.
https://youtu.be/JD2WSEMyOX8
Editor: Supriyadi