Era suksesnya? Apalagi kalau bukan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden keenam ini mempopularkan Tenun Troso di acara-acara kenegaraan. Ryan bahkan menyebut kala itu tidak ada orang miskin di Jepara karena Troso berhasil melenggang di daftar kain ternama di Indonesia.
”Iya waktu itu kalau bisa dibilang tidak ada orang miskin di Jepara karena semua menjadi perajin tenun,” tuturnya sembari tersenyum.
Melihat peluang ini, Ryan pun kemudian melakukan pinjaman modal usaha lagi kepada Pertamina. Benefitnya? Dua kali lipat dirasakannya kali ini. Pertamina kerap mengajaknya pameran. Tak hanya di Indonesia, namun juga Mancanegara.
Terbang ke Belanda dan Negeri Panda, China untuk pameran berskala dunia adalah yang paling Ia ingat. Bagaimana tidak, tenun Troso yang tidak disangkanya bisa mendunia, kini diketahuinya diminati dan digemari dua warga negara berbeda.
Di Belanda sekitar 2010-an, di pameran lokal ia membawa banyak kain tenun Troso. Berbox-box kain pun ludes terjual. Kemudian pada 2019, di China International Import Expo, pakaian batiknya laris manis digemari masyarakat lokal.
Meski diberitahu secara mepet, ia tetap menangkap peluang sekecil apapun itu. Tak ada persiapan khusus, segala produk unggulannya ia bawa ke pameran di dua negara tersebut. Diminati, terjual dan habis. Ia pulang dengan membawa sederet pengalaman.
”Kami benar-benar berterimakasih kepada Pertamina karena memang dengan ikut pameran-pameran ini sangat membantu sekali. Produk kami jadi makin dikenal banyak orang,” ungkapnya.
Peningkatan usaha pun makin dirasakan oleh Ryan. Namun sayangnya, tiga bulan setelah mendapat ilmu barunya, Pandemi Covid-19 melanda. Semua usaha mati suri termasuk si Dewi Shinta yang harus tidur sementara.
Beruntungnya, sambung dia, Pertamina memberikan ruang bagi pelaku usaha di bawah binaannya untuk berkreasi, meningkatkan skil pemasaran hingga menyediakan forum Dimana buyer dan seller bertemu.
Murianews, Jepara – Terpuruk di Era Reformasi hingga bangkit merajut asa kembali sampai ke luar negeri. Begitulah singkatnya perjalanan si “Dewi Shinta”, untuk setidaknya masih tegak berdiri di antara puluhan perajin tenun ikat Troso yang mulai tumbang bergelimpungan dimakan teknologi.
Merek dagang toko kain Tenun Troso di Desa Troso RT 01/ RW 05, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ini, tentu sudah diterjang badai berkali-kali.
Pendirinya adalah H. Hisyam Abdul Rahman. Sejak tahun 80-an mereka berdiri, banyak suka-duka, tawa-tangis, sepi-ramai yang terus mewarnai hari demi hari mereka. Era reformasi adalah ujian terberat. Tak ada penjualan dan ancaman kebangkrutan semakin mendekat.
Namun asa untuk membentangkan kain tenun Troso hingga Mancanegara, atau setidaknya tetap berdiri bersama para perajin yang tersisa, menempatkan mereka di situasi yang enggan untuk berhenti berkarya.
Begitu setidaknya sepenggal cerita yang diungkapkan oleh sang anak, Rian Hidayat. Dia kini adalah penerus perjuangan ayahnya untuk mengenalkan dan memasarkan tenun-tenun Troso hingga penjuru Indonesia bahkan di negara yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Kepada Murianews.com, Rian kembali mengulik bagaimana perjalanan si “Dewi Shinta” berjuang melewati segala permasalahan. Mulai dari pemasaran, krisis moneter hingga sumber daya manusia yang mulai ‘ditelan’ perusahaan-perusahaan asing.
Benar, banyak dari perajin kini beralih bekerja di pabrik-pabrik yang mulai tumbuh subur di Jepara.
Rian juga menceritakan bagaimana bantuan-bantuan juga datang untuk menopang Dewi Shinta agar tetap memancarkan kharisma tenun-tenun trosonya. Salah satunya, dari Pertamina.
”Bapak mendirikan Dewi Shinta ini di tahun 80-an, tentu banyak permasalahan di awal. Mulai pemasaran hingga apalagi kalau bukan modal,” katanya baru-baru ini.
Era reformasi adalah yang paling dia ingat. Pada era itu, Dewi Shinta benar-benar berjuang keras untuk tetap berdiri tegak dengan tetap mempertahankan ciri khasnya.
Perang harga untuk memikat konsumen pun melanda. Saling ambil konsumen demi keberlangsungan usaha pun tidak bisa disalahkan. Namun Dewi Shinta tidak melakukannya.
Mereka memilih untuk mengembangkan usahanya dengan kreasi-kreasi olahan batiknya. Tidak ada turun-turun harga. Hanya terus menjaga kualitas bahan, menggencarkan pemasaran dan pemahaman bahwa barang mereka bukanlah produk yang sembarangan.
”Iya, banting harga semua, kami tidak bisa kalau melakukan itu. Masuk ke toko juga banting harga. Akhirnya kami mencoba untuk membuat konveksi batik dan akhirnya diterima dan kami masih bisa menyambung napas. Ya meski bisa dibilang si tenun ini sempat mandek, tapi Alhamdulillah batiknya jalan,” sambung Ryan.
Era 2000-an, setelah lolos dari krisis moneter, Dewi Shinta harus melanjutkan perjalanannya. Suntikan modal tentu menjadi senjata utama bersaing di era ini.
Ryan bercerita, tak hanya Dewi Shinta saja, semua perajin tenun Troso kala itu, harus berjuang dengan modal seadanya untuk menghadapi persaingan bisnis di industri kain.
Secercah harapan tiba ketika Pertamina kembali membuka bantuan modal usahanya. Dewi Shinta yang memang sedari awal menjadi mitra Pertamina, diperbolehkan untuk mengambilkan modal-modal usaha para perajin tenun troso lainnya.
Kala itu, Ryan bercerita ada delapan perajin tenun Troso yang berpartisipasi dalam pengambilan modal usaha ini.
Sistemnya, Dewi Shinta menjadi penjamin delapan usaha tenun Troso untuk mendapatkan bantuan modal dari Pertamina. Singkat cerita, mereka pun berhasil naik bersama.
Pertamina juga kerap mengajak mereka pameran kesana-kemari. Mempromsikan produk, membangun relasi dan menciptakan jalur perdagangan para produk binaan sendiri.
Era suksesnya? Apalagi kalau bukan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden keenam ini mempopularkan Tenun Troso di acara-acara kenegaraan. Ryan bahkan menyebut kala itu tidak ada orang miskin di Jepara karena Troso berhasil melenggang di daftar kain ternama di Indonesia.
”Iya waktu itu kalau bisa dibilang tidak ada orang miskin di Jepara karena semua menjadi perajin tenun,” tuturnya sembari tersenyum.
Melihat peluang ini, Ryan pun kemudian melakukan pinjaman modal usaha lagi kepada Pertamina. Benefitnya? Dua kali lipat dirasakannya kali ini. Pertamina kerap mengajaknya pameran. Tak hanya di Indonesia, namun juga Mancanegara.
Terbang ke Belanda dan Negeri Panda, China untuk pameran berskala dunia adalah yang paling Ia ingat. Bagaimana tidak, tenun Troso yang tidak disangkanya bisa mendunia, kini diketahuinya diminati dan digemari dua warga negara berbeda.
Di Belanda sekitar 2010-an, di pameran lokal ia membawa banyak kain tenun Troso. Berbox-box kain pun ludes terjual. Kemudian pada 2019, di China International Import Expo, pakaian batiknya laris manis digemari masyarakat lokal.
Meski diberitahu secara mepet, ia tetap menangkap peluang sekecil apapun itu. Tak ada persiapan khusus, segala produk unggulannya ia bawa ke pameran di dua negara tersebut. Diminati, terjual dan habis. Ia pulang dengan membawa sederet pengalaman.
”Kami benar-benar berterimakasih kepada Pertamina karena memang dengan ikut pameran-pameran ini sangat membantu sekali. Produk kami jadi makin dikenal banyak orang,” ungkapnya.
Peningkatan usaha pun makin dirasakan oleh Ryan. Namun sayangnya, tiga bulan setelah mendapat ilmu barunya, Pandemi Covid-19 melanda. Semua usaha mati suri termasuk si Dewi Shinta yang harus tidur sementara.
Beruntungnya, sambung dia, Pertamina memberikan ruang bagi pelaku usaha di bawah binaannya untuk berkreasi, meningkatkan skil pemasaran hingga menyediakan forum Dimana buyer dan seller bertemu.
Dari situlah, Dewi Shinta perlahan bangun dari tidurnya. Menjalin beberapa relasi bahan produksi dan juga apalagi kalau tidak memasarkan karya mereka.
Kini dengan 50-an pekerja tersisa, Dewi Shinta berhasil berdiri tegak bersama dengan para perajin tenun lainnya yang dibantu Pertamina.
Ryan pun berharap Pertamina bisa memiliki program-program yang dapat mengangkat para usaha kecil menengah untuk naik kelas. Sehingga kemudian roda perekonomian di Indonesia akan dikuatkan dengan sektor-sektor industri rumahan seperti mereka.
Hingga saat ini sendiri, berdasarkan data dari Diskopukmnakertrans Jepara, jumlah penenun troso mengalami penurunan hingga 30 persen dari sebanyak 280-an pengrajin pada tahun 2019.
Kepala Seksi Perlindungan dan Pendampingan Usaha Arifin pun menyebutkan, adanya bantuan modal usaha dari pihak-pihak yang peduli dengan pengembangan tenun troso tentunya sangat membantu keberlangsungan hidup para penenun dan perajinnya.
”Apalagi kami tengah mengupayakan adanya pengakuan Hak Kekayaan Intelektual Komunal untuk Troso, tentu kami menyabut baik ini dan mengucapkan banyak terima kasih,” tuturnya.
Area Manager Communication, Relations, & Corporate Social Responsibility (CSR) Regional Jawa Bagian Tengah PT Pertamina Patra Niaga, Brasto Galih Nugroho mengungkapkan, Pertamina sebagai BUMN menjalankan Program Pendanaan Usaha Mikro Kecil (PPUMK) sebagai salah satu program Tanggung Jawa Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang diatur pada Peraturan Menteri BUMN.
Melalui program tersebut Pertamina memberikan dukungan pinjaman modal usaha dan pembiayaan syariah sekaligus kesempatan pembinaan dan pengembangan usaha para mitra binaannya.
Sejak tahun 2023, sambung Brasto, penjaringan pelaku usaha untuk menjadi mitra binaan Program Pendanaan Usaha Mikro dan Kecil (PPUMK) BUMN disinergikan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk skema pinjaman konvensional dan Pegadaian untuk skema pembiayaan syariah sesuai arahan Kementerian BUMN.
”Bagi para pelaku usaha mikro dan kecil, khususnya di Jepara dapat mengakses program tersebut dengan melakukan pendaftaran dan pengajuan melalui BRI dan Pegadaian,” ungkapnya.