Guru Besar UGM Angkat Bicara Soal MBG: Bukan Ide yang Buruk, Tapi…
Anggara Jiwandhana
Senin, 6 Oktober 2025 14:45:00
Murianews, Jogja – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sudah berjalan selama 10 bulan terus menimbulkan masalah, mulai dari variasi makanan yang kurang gizi hingga kasus keracunan yang dialami ribuan siswa.
Menanggapi kondisi ini, Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM Agus Sartono menilai jika persoalan utama bukan pada ide program, melainkan pada mekanisme pelaksanaannya.
Menurut Agus Sartono, secara konsep, MBG adalah ide bagus yang meniru praktik negara maju. Program ini menawarkan enam manfaat utama.
Yakni memperbaiki gizi anak, membangun kohesi sosial, mengajarkan perilaku tertib, menumbuhkan sikap bertanggung jawab terhadap makanan, menciptakan multiplier effect ekonomi, hingga membuka lapangan kerja.
”Tantangannya di implementasi, persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan muncul," ujar Agus Sartono, dikutip dari laman UGM, Senin (6/10/2025).
Agus Sartono kemudian menyoroti anomali dalam implementasi MBG, yang tidak memanfaatkan mekanisme yang sudah ada dan teruji, seperti yang diterapkan pada program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau Program Keluarga Harapan (PKH).
Padahal, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan urusan pendidikan (SD/SMP dikelola Kabupaten/Kota, SMA/SMK oleh Provinsi) kepada daerah.
Ia berpandangan, sebaiknya daerah diberikan kewenangan sesuai undang-undang, dengan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya berfungsi melakukan monitoring dan menyusun panduan teknis.
Konsep lain...
Bisa dibuat dengan konsep melalui kantin sekolah. Metode ini dinilai lebih baik karena makanan akan tersaji fresh dan menghindari risiko makanan basi.
Sekolah bersama komite sekolah diyakini mampu mengelola penyediaan makanan dari UMKM sekitar, sehingga menciptakan sirkulasi ekonomi lokal.
”Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” urainya
Alternatif lainnya, dana sebesar Rp 15.000 per porsi dapat diberikan secara tunai kepada siswa. Orang tua kemudian dilibatkan untuk membelanjakan dan menyiapkan bekal. Cara ini dianggap mampu menanggulangi praktik pemburu rente dan menghilangkan kebocoran.
Agus menyimpulkan, rantai penyaluran MBG yang panjang melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) hanya akan menguntungkan pengusaha besar.
Ia menyayangkan unit cost Rp 15.000 per porsi akhirnya tinggal Rp 7.000 di lapangan. Ia memperkirakan kebocoran atau keuntungan pemburu rente nasional bisa mencapai Rp 33,3 triliun.



