KPK juga mencegah 13 orang bepergian ke luar negeri. Di antara 13 orang tersebut, dua di antaranya adalah mantan Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto, dan mantan Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI Indra Utoyo yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk.
Untuk sementara, kerugian keuangan negara terkait kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp 700 miliar, atau sekitar 30 persen dari total nilai proyek pengadaan yang sebesar Rp 2,1 triliun.
Murianews, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan penggeledahan di sejumlah rumah dan satu Perusahaan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di bank pemerintah pada tahun 2020-2024.
”Hari ini (Rabu, 2/7/2025), tim KPK melakukan penggeledahan di beberapa rumah dari pihak terkait, dan juga salah satu perusahaan yang diduga terkait dengan perkara ini,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dikutip dari Antara.
Meskipun demikian, Budi mengaku KPK belum bisa menyampaikan hasil detail dari penggeledahan terbaru ini.
”Nanti kami akan update (beri tahu) hasilnya apa saja,” katanya.
Sebelumnya, KPK telah mengonfirmasi penggeledahan di dua lokasi untuk mengusut kasus ini pada 26 Juni 2025. Dua lokasi tersebut adalah Kantor PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Pusat di Jalan Sudirman dan Gatot Subroto, Jakarta.
Dari penggeledahan itu, KPK menyita dokumen terkait pengadaan, tabungan, barang bukti elektronik, hingga catatan keuangan.
Pada tanggal yang sama, KPK mengumumkan dimulainya penyidikan baru terkait kasus pengadaan mesin EDC tersebut.
Kemudian, pada 30 Juni 2025, KPK mengumumkan nilai proyek pengadaan mesin EDC tersebut sebesar Rp 2,1 triliun.
Cegah ke luar negeri...
KPK juga mencegah 13 orang bepergian ke luar negeri. Di antara 13 orang tersebut, dua di antaranya adalah mantan Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto, dan mantan Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI Indra Utoyo yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk.
Untuk sementara, kerugian keuangan negara terkait kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp 700 miliar, atau sekitar 30 persen dari total nilai proyek pengadaan yang sebesar Rp 2,1 triliun.