Ali Romdhoni, sejarawan dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, yang menjadi pembicara Suluk Maleman menyebut, bangsa Indonesia telah memiliki sejarah peradaban yang begitu kuat di masa lampau. Bahkan dalam kunjungannya ke sejumlah negara di Asia dia mendapati jejak kekuasaan kerajaan Nusantara.
”Seperti saat berkunjung ke Vietnam, saya mendapati telah ada komunikasi antara pendahulu kita dengan kerajaan Campa,” ujarnya membuka diskusi.
Dalam literatur yang didapatkannya, dia melihat sejumlah kerajaan seperti Majapahit dan Singasari yang melakukan ekspansi hingga ke Melayu. Hal ini tentu menujukkan jika bangsa ini dulunya memiliki armada laut yang begitu kuat juga.
”Majapahit yang kemudian diteruskan dengan Demak juga memiliki peran strategis dengan Malaka yang dulunya menjadi pusat perdagangan. Banyak kerajaan di Indonesia yang salah satunya mendapatkan hasil kekayaan dari pengelolaan pelabuhan besar,” imbuh pria yang menulis buku Istana Prawoto tersebut.
Bahkan dalam perkembangan Malaka disebutkan oleh Ali Romdhoni, pernah mengirim utusan ke Jawa dalam hal ini Demak terkait tiga poin. Seperti meminta agar tak menghentikan pasokan beras, tidak menutup atau menyerang pertahanan Portugis di Makasar serta terkait agama.
”Ini seakan Portugis melakukan lobi. Karena saat itu Demak memang sangat kuat,” imbuhnya.
Oleh karena itulah, saat Malaka direbut oleh Portugis, kerajaan Demak menjadi salah satu yang berdiri menghadapi Portugis.
”Meski ada yang menyebut Demak cukup kesulitan, namun ada pula sumber lain yang menyebut Portugis harus melakukan apa saja untuk bisa menang melawan Demak. Tentu ini menunjukkan Demak cukup hebat saat dulu,” ujarnya.
Dia juga mendapati pembentukan kerajaan Banjar diduga dilakukan atas mentor dari Kerajaan Demak di masa Sultan Trenggono. Selain itu, dari tujuh kali penyerangan terhadap Malaka, disebutkannya, satu kali dilakukan atas undangan Johor dan satu lainnya atas undangan Aceh.
”Ini menunjukkan Demak sangatlah kuat. Tapi seolah-olah peranan Demak dikecilkan. Ini tentu harus disikapi. Kita punya kedaulatan untuk mengkaji kembali, mengkritisi catatan yang sudah ada. Tentu dengan data yang sebanding atau bahkan lebih baik lagi,” ujarnya.
Tanpa memiliki landasan berfikir terutama dalam nilai kesejarahan bangsa, maka masyarakat tentu akan sangat rawan digoyang dan bahkan saling membenci antar suku bangsa. Dia menyebut, sudah sebaiknya masyarakat memiliki perspektif atau pijakan yang jelas.
”Majapahit yang seolah jauh dari Islam pun perlu dikaji kembali. Karena akhirnya seorang raja Majapahit juga menikah dengan perempuan muslim dari kerajaan Campa,” ungkap pria yang juga menjadi dosen tersebut.
Oleh karena itu dia juga mengajak masyarakat untuk terus berfikir kritis. Terlebih lewat kemudahan media sosial sekarang ini banyak hal bisa digali dan dilacak.
”Kita penting untuk mengkaji kembali tulisan yang telah ada. Terlebih ada sejumlah catatan Jawa yang sempat diambil penjajah dan disimpan dalam waktu lama. Penjajah bahkan menerjunkan peneliti untuk mengakaji kembali. Barulah setelah itu hasil kajian baru disiarkan lagi. Jadi apakah itu masih menjadi catatan atau tidak tentu harus dipikirkan ulang,” imbuhnya.
Murianews, Kudus – Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke 152 yang digelar pada Sabtu (17/8/2024) bertepatan dengan peringatan proklamasi kemerdekaan RI ke 79, sengaja mengambil tema ”Melacak Jejak, Mengancang Langkah: Mengaji Indonesia” agar bisa membuka ruang untuk mengkaji dan membaca ulang sejarah. Tujuannya untuk menguatkan identitas bangsa.
Ali Romdhoni, sejarawan dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, yang menjadi pembicara Suluk Maleman menyebut, bangsa Indonesia telah memiliki sejarah peradaban yang begitu kuat di masa lampau. Bahkan dalam kunjungannya ke sejumlah negara di Asia dia mendapati jejak kekuasaan kerajaan Nusantara.
”Seperti saat berkunjung ke Vietnam, saya mendapati telah ada komunikasi antara pendahulu kita dengan kerajaan Campa,” ujarnya membuka diskusi.
Dalam literatur yang didapatkannya, dia melihat sejumlah kerajaan seperti Majapahit dan Singasari yang melakukan ekspansi hingga ke Melayu. Hal ini tentu menujukkan jika bangsa ini dulunya memiliki armada laut yang begitu kuat juga.
”Majapahit yang kemudian diteruskan dengan Demak juga memiliki peran strategis dengan Malaka yang dulunya menjadi pusat perdagangan. Banyak kerajaan di Indonesia yang salah satunya mendapatkan hasil kekayaan dari pengelolaan pelabuhan besar,” imbuh pria yang menulis buku Istana Prawoto tersebut.
Bahkan dalam perkembangan Malaka disebutkan oleh Ali Romdhoni, pernah mengirim utusan ke Jawa dalam hal ini Demak terkait tiga poin. Seperti meminta agar tak menghentikan pasokan beras, tidak menutup atau menyerang pertahanan Portugis di Makasar serta terkait agama.
”Ini seakan Portugis melakukan lobi. Karena saat itu Demak memang sangat kuat,” imbuhnya.
Oleh karena itulah, saat Malaka direbut oleh Portugis, kerajaan Demak menjadi salah satu yang berdiri menghadapi Portugis.
”Meski ada yang menyebut Demak cukup kesulitan, namun ada pula sumber lain yang menyebut Portugis harus melakukan apa saja untuk bisa menang melawan Demak. Tentu ini menunjukkan Demak cukup hebat saat dulu,” ujarnya.
Dia juga mendapati pembentukan kerajaan Banjar diduga dilakukan atas mentor dari Kerajaan Demak di masa Sultan Trenggono. Selain itu, dari tujuh kali penyerangan terhadap Malaka, disebutkannya, satu kali dilakukan atas undangan Johor dan satu lainnya atas undangan Aceh.
”Ini menunjukkan Demak sangatlah kuat. Tapi seolah-olah peranan Demak dikecilkan. Ini tentu harus disikapi. Kita punya kedaulatan untuk mengkaji kembali, mengkritisi catatan yang sudah ada. Tentu dengan data yang sebanding atau bahkan lebih baik lagi,” ujarnya.
Tanpa memiliki landasan berfikir terutama dalam nilai kesejarahan bangsa, maka masyarakat tentu akan sangat rawan digoyang dan bahkan saling membenci antar suku bangsa. Dia menyebut, sudah sebaiknya masyarakat memiliki perspektif atau pijakan yang jelas.
”Majapahit yang seolah jauh dari Islam pun perlu dikaji kembali. Karena akhirnya seorang raja Majapahit juga menikah dengan perempuan muslim dari kerajaan Campa,” ungkap pria yang juga menjadi dosen tersebut.
Oleh karena itu dia juga mengajak masyarakat untuk terus berfikir kritis. Terlebih lewat kemudahan media sosial sekarang ini banyak hal bisa digali dan dilacak.
”Kita penting untuk mengkaji kembali tulisan yang telah ada. Terlebih ada sejumlah catatan Jawa yang sempat diambil penjajah dan disimpan dalam waktu lama. Penjajah bahkan menerjunkan peneliti untuk mengakaji kembali. Barulah setelah itu hasil kajian baru disiarkan lagi. Jadi apakah itu masih menjadi catatan atau tidak tentu harus dipikirkan ulang,” imbuhnya.
Saat mengawali acara, Anis Sholeh Ba’asyin mengingatkan betapa orang sering lupa bahwa aktor kunci semua permasalahan di dunia adalah manusia itu sendiri dengan tafsir dan narasi yang dibangunnya.
”Kecuali memang ada niat buruk yang jelas, bahkan ketika berniat baik pun yang sering dilupakan manusia adalah pengaruh dari situasi zaman yang membentuk dan mempengaruhi tafsir dan narasi yang dibangunnya,” jelas Anis.
Kita tahu bahwa saat pra kemerdekaan sampai setidaknya beberapa waktu setelah kemerdekaan, sudut pandang kolonial sangat dominan menguasai narasi sejarah kita; sehingga tanpa sadar sejarah yang kita terima seperti melompati peran kerajaan atau kesultanan muslim yang pernah ada dalam membentuk kesadaran keIndonesiaan, demikian jelas Anis.
”Sejarah adalah estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya. Estafet itu terutama menyangkut sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dengan adanya lompatan, kita gagap untuk menyambung keberadaan kita dengan masa lampau,” sambung Anis.
Namun sekarang ini memori tentang capaian seperti itu seakan menghilang. ”Ini tentu harus dikaji ulang agar para pencapaian leluhur dapat dilanjutkan oleh generasi masa kini,” imbuhnya.
Topik itupun terlihat begitu menarik para warga yang datang secara langsung ke Rumah Adab Indonesia Mulia maupun lewat platform media sosial YouTube. Ratusan orang tampak terlarut dalam ngaji budaya yang dimeriahkan oleh kelompok musik Sampak GusUran tersebut.