Menurutnya, di musala atau masjid di setiap kampung sudah membuat selamatan kupat lepet. Sehingga hal itu dia anggap sudah mencukupi.
”Pertimbangan anggaran memang kupat lepetnya saja yang kita tiadakan,” kata Eko, Selasa (16/4/2024).
Terpisah, Rhobi Shani, salah satu pelaku seni dan budaya Jepara menceritakan, pada zaman dulu, rangkaian pesta lomban atau syawalan dimulai dengan larung kepala kerbau di laut lepas. Setelah itu, dilanjutkan dengan perang kupat lepet di tempat yang sama.
”Para nelayan dan warga perang, lempar-lemparan kupat lepet,” kata Rhobi.
Murianews, Jepara – Pesta lomban di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah identik dengan festival kupat atau ketupat dan lepet. Sayangnya, di tahun ini festival kupat lepet ditiadakan.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Jepara, Eko Udyyono mengaku peniadaan festival kupat lepet dikarenakan tidak adanya anggaran.
Menurutnya, di musala atau masjid di setiap kampung sudah membuat selamatan kupat lepet. Sehingga hal itu dia anggap sudah mencukupi.
”Pertimbangan anggaran memang kupat lepetnya saja yang kita tiadakan,” kata Eko, Selasa (16/4/2024).
Terpisah, Rhobi Shani, salah satu pelaku seni dan budaya Jepara menceritakan, pada zaman dulu, rangkaian pesta lomban atau syawalan dimulai dengan larung kepala kerbau di laut lepas. Setelah itu, dilanjutkan dengan perang kupat lepet di tempat yang sama.
”Para nelayan dan warga perang, lempar-lemparan kupat lepet,” kata Rhobi.
Seiring berjalannya waktu, mengingat keamanan, perang kupat lepet digeser di kawasan Pantai Kartini. Perang ditiadakan dan diganti menjadi rebutan gunungan kupat lepet. Sebelum rebutan gunungan kupat lepet, masyarakat disuguhi penampilan berbagai kesenian.
”Kupat lepet itu simbol orang meminta maaf dan memaafkan. Dan itu selalu ada di setiap rangkaian pesta lomban,” jelas dia.
Melihat rangkaian acara pesta lomban tahun ini yang meniadakan festival kupat lepet, Rhobi menyayangkan hal itu. Alasannya, dulu di masyarakat menyebut pesta lomban dengan lebaran atau badha kupat. Namun ternyata saat ini simbol yang menjadi esensi itu justru ditiadakan.
”Jika alasannya ketiadaan anggaran, saya rasa itu tidak tepat. Karena itu tradisi yang sudah turun temurun. Melihat perjalanan sejarah, jika ada salah satu syarat pesta lomban ditiadakan, justru terjadi bala. Saya pikir anggaran yang dibutuhkan juga tidak besar,” ucap dia.
Rhobi menambahkan, festival kupat lepet juga sudah menjadi tradisi yang ditunggu-tunggu masyarakat. Baik masyarakat Jepara maupun pengunjung Pantai Kartini.
Editor: Supriyadi