Yang paling jelas, yakni pada aspek kesehatan. Dia mengutarakan, untuk mendapatkan hak kesehatan, masyarakat harus berjuang sendiri mengarungi ganasnya laut agar bisa sampai di Jepara.
Pada aspek sosial, Jack juga merasa masyarakat Karimunjawa tidak mendapatkan keadilan. Dia menyontohkan, ketika warga hendak pulang dari Jepara ke Karimunjawa, tak jarang mereka ditelantarkan aturan.
”Kalau kami beli tiket kapal, kadang-kadang kehabisan. Kami sodorkan KTP juga tidak diterima. Karena memang penuh. Akhirnya seringkali kami terlantar,” ujar dia.
Jack juga melihat ada ketidakadilan dalam aspek pendidikan. Sejauh ini, rata-rata tenaga pendidik yang ada berasal dari luar Karimunjawa. Itu berimbas pada sulitnya penyesuaian dengan kearifan lokal.
Belum lagi soal Balai Taman Nasional (BTN) Karimunjawa. Jack menilai, sebagian wilayah laut yang dikuasai oleh BTN itu seringkali member batasan-batasan.
”Laut dimiliki dan di-hak i oleh BTN. Kami yang budayanya sebagai pelaut, mencari nafkah di laut, merasa numpang,” ujar Jack.
Saat ini, Jack dan sebagian warga lain terus mengkampanyekan perubahan nomenklatur itu. Sebab dia menilai, perubahan nomenklatur itu akan berpengaruh pada perubahan kehidupan masyarakat Kepulauan Karimunjawa.
”Kita harus berubah. Kalau tidak, ya, nasib kami akan begini-begini saja seterusnya,” tandas Jack.
Murianews, Jepara – Nama Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah diusulkan diubah. Usulan perubahan nomenklatur itu datang dari sebagian masyarakat setempat.
Salah satu inisiator usulan perubahan nama itu yakni Bambang Zakaria yang merupakan aktivis Karimunjawa. Usulan yang disampaikannya yakni, mengubah nama Kecamatan Karimunjawa menjadi Kecamatan Kepulauan Karimunjawa.
Usulan itu tak datang secara tiba-tiba. Jack, sapaan akrab warga Suku Bugis yang tinggal di Desa Kemujan, Kecamatan Karimunjawa itu menjelaskan, masyarakat Karimunjawa memiliki peradaban berbeda dengan warga yang hidup di letak geografis yang lain.
”Kami masyarakat kepulauan. Kami hidup dikelilingi oleh laut yang luas. Dan tinggal di daratan yang kecil dan terbatas,” kata Jack kepada Murianews.com, Kamis (31/7/2025).
Kondisi itu membuat budaya masyarakat di Kepulauan Karimunjawa berbeda dengan daerah lain. Sebab mereka menyesuaikan dengan lingkungan yang ada.
Namun dia memandang, kebijakan dari pemerintah tidak sesuai dengan kodrat mereka sebagai masyarakat kepulauan.
”Selama ini pemerintah menerapkan kebijakan yang biasa diterapkan pada masyarakat daratan. Sehingga yang kami terima tidak berkeadilan,” ungkap Jack.
Bahkan, Jack melanjutkan, Pemkab Jepara menyamakan perlakuannya terhadap Kepulauan Karimunjawa seperti kecamatan-kecamatan lainnya. Itu berlaku di semua aspek kehidupan.
Aspek Kesehatan...
Yang paling jelas, yakni pada aspek kesehatan. Dia mengutarakan, untuk mendapatkan hak kesehatan, masyarakat harus berjuang sendiri mengarungi ganasnya laut agar bisa sampai di Jepara.
Pada aspek sosial, Jack juga merasa masyarakat Karimunjawa tidak mendapatkan keadilan. Dia menyontohkan, ketika warga hendak pulang dari Jepara ke Karimunjawa, tak jarang mereka ditelantarkan aturan.
”Kalau kami beli tiket kapal, kadang-kadang kehabisan. Kami sodorkan KTP juga tidak diterima. Karena memang penuh. Akhirnya seringkali kami terlantar,” ujar dia.
Jack juga melihat ada ketidakadilan dalam aspek pendidikan. Sejauh ini, rata-rata tenaga pendidik yang ada berasal dari luar Karimunjawa. Itu berimbas pada sulitnya penyesuaian dengan kearifan lokal.
Belum lagi soal Balai Taman Nasional (BTN) Karimunjawa. Jack menilai, sebagian wilayah laut yang dikuasai oleh BTN itu seringkali member batasan-batasan.
”Laut dimiliki dan di-hak i oleh BTN. Kami yang budayanya sebagai pelaut, mencari nafkah di laut, merasa numpang,” ujar Jack.
Saat ini, Jack dan sebagian warga lain terus mengkampanyekan perubahan nomenklatur itu. Sebab dia menilai, perubahan nomenklatur itu akan berpengaruh pada perubahan kehidupan masyarakat Kepulauan Karimunjawa.
”Kita harus berubah. Kalau tidak, ya, nasib kami akan begini-begini saja seterusnya,” tandas Jack.
Editor: Zulkifli Fahmi