Saat ini, April tengah menggarap pesanan dari 10 instansi dengan jumlah 40–70 potong kain per lembaga. Harga yang ditawarkan bervariasi, mulai dari batik cap Rp130 ribu–Rp200 ribu per 2 meter, batik printing Rp70 ribu, hingga batik tulis Rp500 ribu.
”Di sini saya juga menyadarkan dan mengedukasi bahwa batik perlu dikembangkan. Kami juga mengajak ibu-ibu PKK aktif, setiap tahun rutin latihan membatik,” ujar April.
Ketertarikan April terhadap batik semakin menguat setelah karyanya yang menggambarkan kesedihan korban bencana di Padang berhasil menyabet juara pertama dalam lomba internasional, bersaing dengan Malaysia, Thailand, dan negara lain.
”Bagi saya, mencintai batik tidak cukup hanya dengan melihat. Kita harus memakainya, bahkan kalau bisa ikut membuatnya,” pungkas April.
Murianews, Jepara – Namanya April Puji Astuti (46), perempuan pemilik Silir Batik di Desa Geneng, Kecamatan Batealit, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Jateng). Pembatik satu ini terus menularkan ilmunya kepada lintas generasi.
April mulai tertarik membatik sejak remaja, ketika dia duduk di bangku SMA pada 1997. Minat itu terus berlanjut hingga ia memilih kuliah jurusan batik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Ketertarikan itu rupanya menjadi jalan hidup baginya. Selepas lulus, ia mengajar batik sejak 2010, sebelum akhirnya mantap mendirikan usahanya sendiri setahun kemudian dengan nama Stilir Batik. Dia menjadi pengusaha batik yang memiliki ciri khas tersendiri.
”Alhamdulillah sekarang sudah punya usaha (batik) sendiri,” kata April, baru-baru ini.
Perjalanan April tidak selalu mulus. Awalnya, ia harus membagi waktu antara pekerjaan utama dengan hobi membatik. Namun berkat kegigihannya, karya batiknya semakin dikenal, terlebih sejak media sosial menjadi ruang promosi.
Dalam sepekan terakhir saja, April menerima puluhan pesanan batik dari empat instansi pendidikan. Kini, hasil karyanya bahkan telah menembus pasar internasional.
Motif khas yang paling diminati antara lain Garuda, burung, ukiran Jepara, hingga batik kultur desa seperti Perang Obor, Memeden Gadhu, dan Sorogotho.
Meski begitu, April menilai tantangan terbesar pengrajin bukan lagi soal teknik, melainkan ketersediaan sumber daya manusia (SDM).
”Kalau pesanan banyak tapi tenaga kerja terbatas, ya kuwalahan. Jadi dukungan dari pemerintah untuk SDM sangat dibutuhkan,” ungkapnya.
Pesanan...
Saat ini, April tengah menggarap pesanan dari 10 instansi dengan jumlah 40–70 potong kain per lembaga. Harga yang ditawarkan bervariasi, mulai dari batik cap Rp130 ribu–Rp200 ribu per 2 meter, batik printing Rp70 ribu, hingga batik tulis Rp500 ribu.
April tak hanya fokus menjual batik. Ia turut membuka ruang pembelajaran, baik melalui kelas ekoprint di rumahnya, maupun menerima siswa SMK jurusan kriya tekstil untuk praktik kerja lapangan (PKL). Bahkan, 30 warga sekitar kini bekerja sebagai karyawan di Stilir Batik, sehingga ia bisa sekaligus memberdayakan masyarakat.
”Di sini saya juga menyadarkan dan mengedukasi bahwa batik perlu dikembangkan. Kami juga mengajak ibu-ibu PKK aktif, setiap tahun rutin latihan membatik,” ujar April.
Ketertarikan April terhadap batik semakin menguat setelah karyanya yang menggambarkan kesedihan korban bencana di Padang berhasil menyabet juara pertama dalam lomba internasional, bersaing dengan Malaysia, Thailand, dan negara lain.
”Bagi saya, mencintai batik tidak cukup hanya dengan melihat. Kita harus memakainya, bahkan kalau bisa ikut membuatnya,” pungkas April.
Editor: Cholis Anwar