Jumat, 21 November 2025

Muruanews, Kudus – Wacana penghapusan sistem outsourcing atau alih daya yang sempat disinggung Presiden Prabowo Subianto saat aksi demo buruh, haruslah dipertegas secara implementifnya.

Praktisi dan Akademisi Hukum Ketenagakerjaan, Willy Farianto menilai, persoalan utama outsourcing di Indonesia terletak pada ketiadaan pembatasan sektor pekerjaan.

”Yang menjadi masalah bukan keberadaan outsourcing, tetapi tidak adanya batas yang jelas antara pekerjaan utama (core) dan penunjang (non-core),” ujarnya dalam Seminar Ketenagakerjaan yang digelar DPK Apindo Kudus di Hotel Griptha Kudus, Rabu (13/8/2025).

Willy memaparkan, pekerja outsourcing kerap menghadapi pemangkasan hak, seperti upah yang hanya setara upah minimum meski telah bekerja lebih dari setahun, tidak ada kenaikan karier, serta minim pelatihan atau promosi.

Sementara di sisi perusahaan pemberi kerja, kewajiban normatif seperti BPJS, kompensasi PKWT, dan lembur sering kali diabaikan, bahkan terjadi perbedaan upah dengan pekerja internal.

Ia menyarankan perusahaan pemberi kerja dan perusahaan outsourcing mengkaji ulang perjanjian alih daya, mengidentifikasi pekerjaan core dan non-core, serta menyusun alur bisnis yang sesuai pembatasan sektor pekerjaan.

Perjanjian alih daya juga harus menjamin hak normatif pekerja, termasuk keberlanjutan hubungan kerja selama objek pekerjaan masih ada.

Peran Pemerintah... 

Willy juga menekankan pentingnya peran pemerintah untuk mengembalikan pembatasan outsourcing hanya pada sektor non-core.

Kemudian, mengatur kewajiban penempatan dana escrow account sebagai jaminan hak pekerja, serta membatasi pemberian pekerjaan outsourcing hanya kepada anak perusahaan atau afiliasi.

Outsourcing harus dikelola dengan tata kelola SDM yang profesional dan berbasis perlindungan hukum, bukan sekadar menjadi juru bayar,” tegasnya.

Editor: Zulkifli Fahmi

Komentar

Terpopuler