Dalam Suluk Maleman itu, memaparkan data Universitas Harvard pada Mei lalu yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling bahagia di dunia. Tetapi berbarengan dengan itu, ternyata terdapat rilis data kemiskinan Indonesia dari Bank Dunia.
”Data Bank Dunia menyebut ada 194,4 juta, atau 68,2%, warga Indonesia masuk dalam kategori miskin, meski standar penghitungannya berbeda dengan Badan Pusat Statistik,” terang Anis.
Menurut Anis, ada dua berkah utama yang dimiliki bangsa Indonesia: sumber daya alam yang melimpah dan kuatnya jaring sosial serta ikatan keagamaan masyarakat secara alamiah.
”Hal itu yang menyebabkan, meski berpenghasilan rendah namun masih banyak yang bisa tertawa lepas dan berbahagia,” kata Anis.
Padahal, lanjut Anis, secara faktual upah minimum regional tak bisa mencukupi kebutuhan 1 keluarga kecil, suami-isteri dengan 2 anak, selama 1 bulan.
”Meski suami-isteri tersebut sama-sama bekerja. Tapi masih mereka masih bisa ngopi dan ketawa-ketawa,” jelasnya.
Murianews, Pati – Suluk Maleman edisi ke-162 pada Sabtu (21/6/2025) malam, mengupas tuntas bagaimana paradoks kebahagiaan di Indonesia. Kemiskinan yang seharusnya menjadi evaluasi bersama, justru berubah menjadi kebahagiaan yang dibanggakan.
Dalam Suluk Maleman itu, memaparkan data Universitas Harvard pada Mei lalu yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling bahagia di dunia. Tetapi berbarengan dengan itu, ternyata terdapat rilis data kemiskinan Indonesia dari Bank Dunia.
Budayawan dan penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba'asyin, menyoroti paradoks ini.
”Data Bank Dunia menyebut ada 194,4 juta, atau 68,2%, warga Indonesia masuk dalam kategori miskin, meski standar penghitungannya berbeda dengan Badan Pusat Statistik,” terang Anis.
Menurut Anis, ada dua berkah utama yang dimiliki bangsa Indonesia: sumber daya alam yang melimpah dan kuatnya jaring sosial serta ikatan keagamaan masyarakat secara alamiah.
”Hal itu yang menyebabkan, meski berpenghasilan rendah namun masih banyak yang bisa tertawa lepas dan berbahagia,” kata Anis.
Padahal, lanjut Anis, secara faktual upah minimum regional tak bisa mencukupi kebutuhan 1 keluarga kecil, suami-isteri dengan 2 anak, selama 1 bulan.
”Meski suami-isteri tersebut sama-sama bekerja. Tapi masih mereka masih bisa ngopi dan ketawa-ketawa,” jelasnya.
Budaya guyub rukun...
Menurutnya, jaring sosial ini diperkuat dengan budaya guyub rukun antar masyarakat, sebuah nilai yang jarang ditemukan di bangsa atau negara lain.
”Ada banyak contohnya. Sederhananya, misalkan hidup di desa, kita bisa dengan mudah meminta bumbu ke tetangga. Dan saling berbagi tanpa pernah ada yang merasa diberatkan,” terangnya.
Berbeda dengan Indonesia, Anis membandingkan dengan Jepang yang meskipun berpenghasilan jauh lebih tinggi, namun memiliki tingkat stres yang tinggi.
”Orang Jepang berangkat pagi pulang malam hari. Akhirnya mereka meluapkan kegelisahannya di jalan-jalan atau di tempat karaoke. Itu terjadi karena mereka sulit merealisasikan kemanusiaan secara utuh,” ujarnya.
Konsep kebahagiaan di Indonesia sangat berbeda dengan negara maju yang cenderung mengidentikkan kebahagiaan dengan pemenuhan materi secara kuantitatif, meninggalkan kekosongan rohani.
Anis menyebut fenomena ini sebagai paradoks pertumbuhan: semakin kaya seseorang atau sebuah bangsa, tidak otomatis membuat mereka lebih bahagia. Kebahagiaan awal saat memiliki sesuatu seringkali tidak bertambah dengan kepemilikan selanjutnya.
”Tentu kita harus bersyukur karena masyarakat kita meletakkan kebahagiaan lebih sebagai sesuatu yang bersifat kualitatif, sehingga orang bisa menemukan kebahagiaan tanpa harus lebih dahulu menjadi kaya; kebahagiaan bahkan bisa diraih ketika masih mereka dalam kategori miskin,” ungkap Anis.
Semangat kerukunan...
Oleh karena itu, Anis menilai semangat guyub rukun antar warga di Indonesia merupakan harta kekayaan yang tak ternilai.
Budayawan asal Pati itu juga mengajak agar masyarakat tidak selalu menjadikan ukuran bangsa Barat untuk diterapkan di Indonesia.
Anis menilai peradaban Indonesia dibangun dengan berbagai kekayaan yang tak akan pernah bisa didapatkan di peradaban Barat.
”Orang modern akan menganggap warga Papua dianggap tertinggal, tapi coba dibalik, apakah bisa orang Amerika hidup di Papua? Jadi jangan menyeret ikan untuk tinggal di udara atau burung tinggal di dalam air. Semua tidak bisa dipaksa karena memiliki kearifan dan kekayaannya masing-masing,” sentilnya.