Rabu, 19 November 2025



Kurniawan Eka Saputra, peneliti dari Sumatera Initiative Riset dan Konsulting Bengkulu, menyoroti fenomena tersebut.

Dalam dua dekade terakhir, ia mengatakan pasangan calon dari jalur perseorangan selalu berhasil memenangi kontestasi dengan mengalahkan paslon yang diusung partai politik di Rejang Lebong.

Namun, pada Pilkada 2024 menunjukkan terjadi pergeseran signifikan dalam preferensi politik lokal.

"Lalu timbul pertanyaan, mengapa pada Pilkada  2024 untuk jalur perseorangan tidak lagi menjadi alternatif pilihan bagi figur paslon potensial 'merintis jalan kuasa' ke kontestasi?," kata dia.

Susah untuk memastikan fenomena apa yang melatari hal tersebut. Namun, menurut dia, setidaknya ada beberapa analisis yang bisa menjadi argumentasi.

Pertama, dinamika dalam politik, termasuk politik lokal Rejang Lebong, berjalan sangat cair. Artinya, peta politik lokal berubah cepat dan sangat cair, yang didukung oleh kecenderungan-kecenderungan aktivitas masyarakat dan aktor politik.

Dengan begitu, pilihan-pilihan dalam konteks pilkada menggunakan jalur parpol atau perseorangan juga berubah secara dinamis. Karena gejala sedikitnya tingkat partisipasi pencalonan di jalur perseorangan juga terjadi di daerah lain, bisa jadi hal itu memiliki relevansi dengan pileg, pilpres, dan pilkada yang serentak digelar pada tahun 2024.

Kedua, terdapat fakta bupati/wakil bupati petahana Rejang Lebong masih ikut kontestasi Pilkada Rejang Lebong tanpa jalur perseorangan. Padahal pilkada sebelumnya mereka menjadi kepala daerah lewat jalur nonparpol.

Hal itu menunjukkan bahwa persoalan melalui jalur perseorangan atau perahu parpol hanyalah 'pilihan logis rasional' bagi figur bakal calon dengan kalkulasi tertentu. Artinya, menurut dia, bisa jadi secara teknis jalur parpol lebih simpel secara administratif karena tidak membutuhkan banyak dukungan konstituen pada awalnya.

Dalam konteks Rejang Lebong butuh minimal 20.840 dukungan KTP-el, dengan sebaran 50 persen dari 15 kecamatan di Rejang Lebong untuk maju lewat jalur perseorangan.

Ketiga, selisih waktu Pilpres-Pileg 2024 dengan  Pilkada 2024 memiliki jeda yang relatif pendek. Hal ini membuat persiapan peserta pilkada relatif kewalahan karena baru saja bersaing dalam fase pemilu jenis lain.

Dengan begitu, parpol cenderung merapat ke figur-figur potensial meski merupakan representasi petahana jalur independen,  sementara para pimpinan parpol, yang lazimnya ikut bersaing di pilkada, memilih "jalur aman" di parlemen lokal dengan menjadi legislator.

Para elite parpol cenderung enggan melepas jabatan legislatornya karena untuk maju pilkada harus mundur dari posisi anggota DPRD.

"Imbas dari keserentakan pileg, pilpres, dan pilkada adalah bahwa para legislator (aktivis parpol) baru 'berperang habis-habisan' lalu harus 'berperang' lagi dalam pilkada yang tahapannya beririsan. Ini tentu membutuhkan energi dan 'logistik' yang kuat," kata dia.

Keempat, para calon kepala daerah cenderung memilih risiko terkecil dalam bersaing pada pilkada.

selama ini kelolosan/ketidaklolosan syarat dukungan dari jalur perseorangan membutuhkan 'atensi dan restu' pihak tertentu. Jadi, cukup berisiko secara politis jika tetap menggunakan jalur perseorangan tanpa basis massa dukungan yang faktual.

Komentar

Terpopuler