Kamis, 20 November 2025

Pada tahun 1950, petani di Desa Pundenrejo akhirnya kembali menguasai lahan pertanian tersebut dan menggarap dengan menanam tanaman palawija. Namun sayangnya, lahan tersebut kembali konflik usai peristiwa G 30 S. 

”Ada ketimpangan. Dulu tanah peninggalan nenek moyang yang dirampas Belanda, tahun 1950 sudu digarap petani. Tahun 1965 dirampas  oleh perintis. Bila tidak keluar dari lahan itu dianggap PKI,” ungkap dia. 

Tiba-tiba, jelas dia, ada surat perizinan HGB bagi Badan Pimpinan Rumpun Diponegoro (Bapipundip) dari tahun 1973 sampai 1994.

Perizinan itu kemudian terus diperpanjang hingga lembaga tersebut bangkrut pada awal Reformasi. Tutupnya lembaga ini membuat petani kembali berani menguasai lahan tersebut. 

”Kemudian Bapipundip yang mengelola pabrik gula pakis tutup tahun 1999. Kemudian, petani menggarap lahan pada tahun 2000. Menanami polowijo, jagung, padi, ketela singkong,” tutur dia. 

Tetapi, ternyata PT LPI sudah mengantongi HGB dan berakhir pada tahun 2024. Hal ini membuat, petani tak leluasa menanam di lahan pertaniannya. Mereka mengaku sering mendapatkan intimidasi. 

”Perizinan baru lagi untuk LPI. tahun 2020, lahan kami dirampas LPI dan tanaman kami dirusak. HGB itu sebenarnya sertifikatnya bangunan. Tapi tidak ada bangunan di sana. mereka menanami tebu sekarang. Saat ini juga masih menanam tebu,” tandas dia. 

Aksi protes...

Komentar

Terpopuler