Halaman kampus IPMAFA Pati disulap menjadi panggung pementasan. Suasana menjadi hidup saat Arif Khilwa dari Komunitas Gandrung Sastra menggelar orasi budaya.
Dalam orasinya, Arif menekankan pentingnya menjaga warisan budaya pesantren di tengah arus modernisasi yang semakin deras.
”Budaya berperan sebagai pagar, jembatan, sekaligus petunjuk arah agar santri tidak kehilangan jati dirinya,” ujar Arif yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kabupaten Pati, Jumat (20/6/2025).
Ia menambahkan, budaya tidak seharusnya dianggap sebagai beban, melainkan bekal yang menyertai perjalanan hidup, terutama dalam menjaga identitas santri.
Namun, menurut sutradara pertunjukan, Nanda, istilah tersebut diinterpretasikan lebih luas, tidak semata dalam konteks menerima tamu, melainkan sebagai sikap menerima kenyataan dan hakikat kehidupan dengan lapang dada.
”Dalam budaya Jawa, menerima bukan hanya bentuk keramahan, tetapi juga mencerminkan kedewasaan dalam menyikapi kehidupan,” ujar Nanda.
Murianews, Pati – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Suryopati Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) mementaskan pertunjukan teater, Kamis (19/6/2025) malam. Mereka mengangkat nilai-nilai lokal, ”Nampi”.
Halaman kampus IPMAFA Pati disulap menjadi panggung pementasan. Suasana menjadi hidup saat Arif Khilwa dari Komunitas Gandrung Sastra menggelar orasi budaya.
Dalam orasinya, Arif menekankan pentingnya menjaga warisan budaya pesantren di tengah arus modernisasi yang semakin deras.
”Budaya berperan sebagai pagar, jembatan, sekaligus petunjuk arah agar santri tidak kehilangan jati dirinya,” ujar Arif yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kabupaten Pati, Jumat (20/6/2025).
Ia menambahkan, budaya tidak seharusnya dianggap sebagai beban, melainkan bekal yang menyertai perjalanan hidup, terutama dalam menjaga identitas santri.
Usai orasi budaya, pementasan bertemakan ”Nampi” dimulai. Nampi yang dalam bahasa Jawa berarti “menerima”, diangkat sebagai refleksi nilai-nilai lokal.
Namun, menurut sutradara pertunjukan, Nanda, istilah tersebut diinterpretasikan lebih luas, tidak semata dalam konteks menerima tamu, melainkan sebagai sikap menerima kenyataan dan hakikat kehidupan dengan lapang dada.
”Dalam budaya Jawa, menerima bukan hanya bentuk keramahan, tetapi juga mencerminkan kedewasaan dalam menyikapi kehidupan,” ujar Nanda.
Empat aktor utama...
Pertunjukan menghadirkan empat aktor utama, yakni Nanda, Ubed, Indah, dan Faza.
Keempatnya memainkan peran dengan penghayatan mendalam. Salah satu karakter mencolok diperankan oleh Ubed, yang membawakan sosok pemimpin otoriter, gila jabatan, dan abai terhadap nasib rakyat.
”Tokoh ini kami angkat sebagai cermin dari fenomena kepemimpinan yang jauh dari etika publik. Mereka yang enggan dikritik dan lebih mementingkan kekuasaan dibandingkan rakyat,” ungkap Ubed Mughni.
Pementasan juga menyinggung isu aktual, seperti kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati sebesar 250 persen, yang menuai kritik dari masyarakat.
Dalam pertunjukan, isu ini disimbolkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemimpin yang tidak berpihak pada rakyat.
Pentas ditutup dengan pesan moral kuat tentang kefanaan kekuasaan dan harta.
”Seberapapun tingginya jabatan dan banyaknya harta, semuanya tidak akan dibawa ke akhirat,” pungkas Ubed.
Pertunjukan ”Nampi” mendapat sambutan hangat dari para penonton. Pementasan ini menjadi bukti bahwa teater tetap relevan sebagai medium kritik sosial dan ruang refleksi bersama di tengah dinamika masyarakat.
Editor: Cholis Anwar