Bahkan 35 persen responden menganggap tidak ada naskah akademik. Sebanyak 85,9 persen masyarakat juga berpendapat bahwa kebijakan lima hari sekolah tidak memperhatikan ekosistem pendidikan lain seperti TPQ dan Madin.
Dalam hasil survei tersebut, masyarakat niga memberikan rekomendasi atau alternatif untuk menyikapi lima hari sekolah. Mayoritas berharap kembali ke enam hari sekolah.
Sebanyak 40,7 persen mengusulkan kembali ke enam hari sekolah, 36,2 persen mengusulkan integrasi dengan ekosistem pendidikan lain dab 14,1 persen mengusulkan pengurangan beban kurikulum, bukan hari belajar.
Ipmafa berharap temuan ini dapat menjadi bahan pertimbangan penting bagi Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan dalam mengevaluasi kembali kebijakan pendidikan.
”Dengan senantiasa memperhatikan aspirasi, kekhawatiran, dan kebutuhan masyarakat demi terwujudnya sistem pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan,” pungkas dia.
Murianews, Pati – Hasil survei Fakultas Tarbiyah Institut Pesantren Mathali'ul Falah (Ipmafa) Pati menunjukkan masyarakat khawatir lima hari sekolah menimbul sejumlah dampak negatif bila tetap dilakukan di Kabupaten Pati.
Ipmafa menggelar survei pada tanggal 30 Juni hingga 2 Juli 2025. Sebanyak 208 responden terlibat dalam survei ini. Terdiri dari 53,4 persen laki-laki dan 46,6 persen perempuan.
”Mayoritas responden berada dalam kelompok usia produktif, dengan 32,7 persen berusia 20-30 tahun dan 26,4 persen berusia 31-40 tahun,” ujar Dekan Fakultas Tarbiyah, M Sofyan Alnashr, Selasa (8/7/2025).
Dalam survei ini, terungkap beberapa dampak negatif yang paling sering dikhwatirkan masyarakat bila kebijakan lima hari sekolah jadi digelar di Kabupaten Pati.
Anak-anak disebut berpotensi tidak dapat mengikuti pendidikan keagamaan seperti, TPQ dan Madin serta aktivitas lain. Pasalnya, mereka sudah lelah mengikuti pembelajaran di sekolah seharian. Hal ini diutarakan oleh 73,4 persen atau 130 responden.
Selain itu, beban belajar yang padat berpotensi menyebabkan anak kelelahan secara fisik dan psikis. Pendapat ini diutarakan oleh 59,9 persen atau 106 responden.
”Orang tua kesulitan mengatur jadwal pengasuhan, les bakat minat, atau kegiatan lain untuk anak, diutarakan oleh 32,8 persen atau 58 responden. Guru kelelahan dengan jam mengajar yang padat, diutarakan oleh 28,8 persen atau 51 responden,” tutur dia.
Selain itu, mayoritas masyarakat atau 63,8 persen responden beranggapan bahwa kebijakan ini belum melalui kajian mendalam. Sebanyak 54,2 persen responden juga menyatakan tidak tahu adanya naskah akademik terkait kebijakan ini.
Dampak Negatif...
Bahkan 35 persen responden menganggap tidak ada naskah akademik. Sebanyak 85,9 persen masyarakat juga berpendapat bahwa kebijakan lima hari sekolah tidak memperhatikan ekosistem pendidikan lain seperti TPQ dan Madin.
”Tingkat kesiapan sekolah dalam menerapkan lima hari sekolah juga menjadi sorotan, dengan 91 persen masyarakat menganggap sekolah belum siap dari segi SDM dan sarana prasarana,” ungkap dia.
Dalam hasil survei tersebut, masyarakat niga memberikan rekomendasi atau alternatif untuk menyikapi lima hari sekolah. Mayoritas berharap kembali ke enam hari sekolah.
Sebanyak 40,7 persen mengusulkan kembali ke enam hari sekolah, 36,2 persen mengusulkan integrasi dengan ekosistem pendidikan lain dab 14,1 persen mengusulkan pengurangan beban kurikulum, bukan hari belajar.
”Hasil survei yang dilakukan oleh Fakultas Tarbiyah Ipmafa Pati ini secara jelas menunjukkan adanya resistensi yang kuat dari masyarakat Pati terhadap penerapan kebijakan lima hari sekolah,” tutur dia.
Ipmafa berharap temuan ini dapat menjadi bahan pertimbangan penting bagi Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan dalam mengevaluasi kembali kebijakan pendidikan.
”Dengan senantiasa memperhatikan aspirasi, kekhawatiran, dan kebutuhan masyarakat demi terwujudnya sistem pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan,” pungkas dia.
Editor: Supriyadi