Pesantren Dilarang Beri Sanksi Fisik ke Santri
Vega Ma'arijil Ula
Rabu, 27 Maret 2024 15:36:00
Murianews, Kudus – Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan petunjuk teknis (juknis) pengasuhan ramah anak di pesantren. Tujuannya agar memberikan pemenuhan hak dasar anak salah satunya kasih sayang.
Juknis tersebut terdapat di Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag tertanggal 4 Maret 2024 lalu. Pada juknis tersebut mengatur tentang bagaimana pesantren atau pengasuh menjalankan pola pengasuhan sehari-hari.
Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah Suhadi mengatakan, juknis tersebut otomatis langsung berlaku di daerah. Meski demikian menurutnya sebelum adanya juknis tersebut pihaknya telah menerapkan pondok pesantren ramah anak. Tujuannya untuk memenuhi hak dasar anak.
”Selama ini kami sudah melakukan kegiatan ramah anak. Terkait juknis larangan kekerasan di ponpes itu jangankan kekerasan fisik, kekerasan verbal pun tidak boleh,” katanya, Rabu (27/3/2024).
Selain harus ramah anak, menurut Suhadi pendidikan inklusi di ponpes juga harus diberlakukan. Inklusi yang dimaksud yakni pihak ponpes tidak boleh menolak anak yang memiliki keterbatasan fisik.
Penerapan ramah anak dan pendidikan inklusi itu diterapkan di 150 ponpes di Kudus. Yakni dengan total jumlah santri per Desember 2023 ada 2584 santri.
”Untuk lembaga pendidikan keagamaan yang lain seperti TPQ jumlahnya ada 434. Ratusan jumlah tersebut tersebar di wilayah Kabupaten Kudus dan di 285 madrasah diniyah (madin),” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kudus, Ahmad Hamdani mengatakan, larangan kekerasan kepada santri di pesantren itu sudah berlaku sejak lama. Artinya, ajaran dari kiai sendiri sudah melarang melakukan kekerasan kepada santri.
”Saya mondok bertahun-tahun di Ponpes tidak pernah mengalami atau menemui kekerasan di pesantren,” katanya, Rabu (27/3/2024).
Dia menambahkan, apabila pengasuh pondok pesantren memberikan sebuah takziran atau hukuman kepada santri, biasanya bentuk hukumannya juga tidak kekerasan fisik. Melainkan berupa membersihkan pondok atau menghafal surah Al-Qur’an tertentu.
Menurutnya, juknis yang diturunkan Kemenag itu sebagai penguatan langkah preventif. Tujuannya agar lembaga pendidikan keagamaan tidak memperlakukan santri dengan tindakan kekerasan.
”Saat ini yang menjadi perhatian itu banyak lembaga pendidikan yang juga mendirikan ponpes. Selain itu ada juga konsep ponpes. Namun kegiatan didalamnya hampir mirip seperti kos-kosan. Sehingga nama-nama ponpes ini perlu diverifikasi kembali, terutama terkait pengelolaannya,” imbuhnya.
Editor: Cholis Anwar
Murianews, Kudus – Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan petunjuk teknis (juknis) pengasuhan ramah anak di pesantren. Tujuannya agar memberikan pemenuhan hak dasar anak salah satunya kasih sayang.
Juknis tersebut terdapat di Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag tertanggal 4 Maret 2024 lalu. Pada juknis tersebut mengatur tentang bagaimana pesantren atau pengasuh menjalankan pola pengasuhan sehari-hari.
Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah Suhadi mengatakan, juknis tersebut otomatis langsung berlaku di daerah. Meski demikian menurutnya sebelum adanya juknis tersebut pihaknya telah menerapkan pondok pesantren ramah anak. Tujuannya untuk memenuhi hak dasar anak.
”Selama ini kami sudah melakukan kegiatan ramah anak. Terkait juknis larangan kekerasan di ponpes itu jangankan kekerasan fisik, kekerasan verbal pun tidak boleh,” katanya, Rabu (27/3/2024).
Selain harus ramah anak, menurut Suhadi pendidikan inklusi di ponpes juga harus diberlakukan. Inklusi yang dimaksud yakni pihak ponpes tidak boleh menolak anak yang memiliki keterbatasan fisik.
Penerapan ramah anak dan pendidikan inklusi itu diterapkan di 150 ponpes di Kudus. Yakni dengan total jumlah santri per Desember 2023 ada 2584 santri.
”Untuk lembaga pendidikan keagamaan yang lain seperti TPQ jumlahnya ada 434. Ratusan jumlah tersebut tersebar di wilayah Kabupaten Kudus dan di 285 madrasah diniyah (madin),” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kudus, Ahmad Hamdani mengatakan, larangan kekerasan kepada santri di pesantren itu sudah berlaku sejak lama. Artinya, ajaran dari kiai sendiri sudah melarang melakukan kekerasan kepada santri.
”Saya mondok bertahun-tahun di Ponpes tidak pernah mengalami atau menemui kekerasan di pesantren,” katanya, Rabu (27/3/2024).
Dia menambahkan, apabila pengasuh pondok pesantren memberikan sebuah takziran atau hukuman kepada santri, biasanya bentuk hukumannya juga tidak kekerasan fisik. Melainkan berupa membersihkan pondok atau menghafal surah Al-Qur’an tertentu.
Menurutnya, juknis yang diturunkan Kemenag itu sebagai penguatan langkah preventif. Tujuannya agar lembaga pendidikan keagamaan tidak memperlakukan santri dengan tindakan kekerasan.
”Saat ini yang menjadi perhatian itu banyak lembaga pendidikan yang juga mendirikan ponpes. Selain itu ada juga konsep ponpes. Namun kegiatan didalamnya hampir mirip seperti kos-kosan. Sehingga nama-nama ponpes ini perlu diverifikasi kembali, terutama terkait pengelolaannya,” imbuhnya.
Editor: Cholis Anwar