Jumat, 21 November 2025

Ia menjelaskan, Kurikulum Merdeka yang dirancang untuk memberikan kebebasan siswa dalam mengeksplorasi minat, justru terancam tereduksi dengan adanya pembatasan jurusan.

”Padahal, dunia kerja saat ini membutuhkan individu dengan kemampuan lintas disiplin. Ambil contoh isu perubahan iklim, solusinya tidak hanya datang dari sains atau IPA, tetapi juga kebijakan yang terdapat di IPS serta komunikasi lewat Bahasa. Dengan memaksa siswa memilih satu jurusan, tanpa sadar membatasi potensi mereka untuk berpikir secara holistik,” sambungnya.

Lebih lanjut, Nur Mahardika menyoroti potensi dampak psikologis terhadap siswa. Menurutnya, memilih jurusan di usia remaja (15-17 tahun) bukanlah keputusan yang sederhana.

Pada fase perkembangan tersebut, siswa sedang aktif membentuk identitas diri dan seringkali melalui proses trial and error. Ketika mereka dihadapkan pada pilihan yang bersifat permanen atau sulit diubah, beban psikologis yang muncul bisa signifikan.

”Misalnya seorang siswa yang sebenarnya mencintai sastra, tetapi memilih jurusan IPA karena tekanan orang tua atau anggapan bahwa IPA lebih bergengsi. Bukan tidak mungkin ia akan mengalami stres akademik, kehilangan motivasi, atau bahkan merasa terasing dari dirinya sendiri,” terangnya.

Menurut Nur Mahardika, kebijakan penjurusan kembali di SMA ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, sistem ini menawarkan struktur yang jelas untuk memenuhi kebutuhan tes standar. Namun, di sisi lain, kebijakan ini berisiko mengecilkan potensi siswa dan mengabaikan tuntutan zaman yang membutuhkan individu dengan kemampuan multidisiplin.

”Tantangan terbesar saat ini yakni memastikan sistem ini tidak menjadi langkah mundur, melainkan bagian dari evolusi pendidikan yang tetap memprioritaskan siswa sebagai manusia utuh, bukan sekadar angka di rapor atau nilai ujian,” pungkasnya.

Editor: Cholis Anwar

Komentar

Terpopuler