Kamis, 20 November 2025

”Pengembangan padi hibrida di Indonesia sudah berjalan, dan varietas yang tersedia saat ini jauh lebih baik daripada yang paling awal, dalam hal produktivitas, ketahanan terhadap penyakit, cuaca, dan rasa/tekstur. Namun, padi hibrida belum diterima secara luas,” demikian kesimpulan riset tersebut.

Sementara itu, Peneliti Balai Besar Padi Kementerian Pertanian, Sukamadi pernah mengungkapkan adopsi teknologi padi hibrida di Indonesia masih rendah.

Di mana, pada kurun waktu 2013-2017, adopsi penggunaannya masih di bawah 5 persen. Menurutnya, pengembangan padi hibrida sangat tergantung dari permintaan pasar.

Ia menilai, ada beberapa faktor yang membuat banyak petani di Indonesia enggan menggunakan padi hibrida. Salah satunya yakni, proses produksi benih padi yang rumit, serta produksi benih padi yang melibatkan galur mandul jantan.

Proses ini secara alamiah memiliki rendemen benih lebih rendah dibandingkan padi normal, yaitu sekitar 1,5 ton per hektare (ha). Akibatnya, harga benih padi hibrida lebih mahal dibandingkan dengan benih padi Inbrida.

Karena itu lah, ketersediaan benih hibrida di toko pertanian menjadi terbatas akibat terbatasnya jumlah produsen atau penangkar benih. Selain itu, produktivitas varietas unggul yang memberikan keunggulan heterosis sekitar 10 persen dibandingkan padi inbrida. Padahal pada tingkat penelitian dan pengkajian angkanya bisa mencapai 15-20 persen.

Komentar

Terpopuler