Belasan anggota komplotan pencurian data pribadi itu kemudian ditarget meregistrasi sebanyak 3000 kartu dalam waktu 24 jam dengan sistem kerja bergantian.
Untuk menarik pelanggan, DBS dan komplotannya membuat empat website sebagai wadah promosi dan transaksi. Masyarakat yang ingin memiliki kartu SIM ilegal tinggal mendownload aplikasi, memilih layanan yang ingin didaftarkan lalu melakukan transaksi.
’’Nanti akan ditanya aplikasi apa. Di websitenya sudah terarah tergantung pemesannya mau apa,’’ katanya.
Kebanyakan korban ingin membuat akun aplikasi tertentu. Diduga, hasil kejahatan itu juga dilakukan untuk kejahatan lainnya, seperti promosi atau daftar situs judi online.
Meski begitu, Ranefli belum bisa menyimpulkan kejahatan yang dilakukan komplotan penjual data pribadi itu digunakan untuk buzzer.
’’Yang jelas pengakuannya untuk masyarakat yang membutuhkan kartu ilegal untuk membuat akun atau aplikasi apapun. Tetapi, patut kita duga peredaran cukup marak,’’ katanya.
Murianews, Denpasar – Polda Bali berhasil menangkap belasan penjual 300 ribu data pribadi. Pelaku mendapatkan data pribadi itu dari Dark Web dan kemudian menjualnya kembali.
Direktur Reserse Siber Polda Bali AKBP Ranefli Dian Candra mengatakan, data pribadi yang didapat pelaku yakni NIK dan KK. Pelaku mendapatkan 300 ribu data pribadi itu seharga Rp 25 juta dari Dark Web.
Ranefli menjelaskan, otak kejahatan pencurian data pribadi tersebut yakni DBS. Mulanya, ia menjual data untuk registrasi kartu SIM secara ilegal.
Ia juga menjual kode One Time Password (OTP) pada awal 2022 lalu, bersama dua temannya. Modus penjualan registrasi SIM ilegal itu yakni dengan membuka usaha konter.
Mulanya, mereka menggunakan ponsel dengan NIK yang didapatkan dari dark web secara manual. Lima bulan berjalan, DBS kemudian menjual dua unit laptop dan modem pool agar dapat meregistrasi 16 kartu SIM sekaligus.
Kemudian, Agustus 2024, DBS membeli tambahan 12 unit modem pool, sehingga totalnya menjadi 168 unit. Seiring dengan besarnya pendapatan dan tingginya permintaan dari pelanggan, DBS merekrut anggota baru yang rata-rata berusia remaja.
Selain 12 orang tersangka yang sudah ditahan oleh Polda Bali, penyidik masih memburu beberapa orang lainnya yang menjadi DPO terlibat kasus tersebut.
’’Masih ada yang jadi DPO karena saat menggeledah kantor di Gatot Subroto kantor sudah kosong. Kami masih cari, sepertinya saat kami ke TKP ada yang memberi tahu ke sana sehingga saat kami tiba sudah kosong,’’ kata Ranefli seperti dikutip dari Antara.
Belasan anggota komplotan pencurian data pribadi itu kemudian ditarget meregistrasi sebanyak 3000 kartu dalam waktu 24 jam dengan sistem kerja bergantian.
Untuk menarik pelanggan, DBS dan komplotannya membuat empat website sebagai wadah promosi dan transaksi. Masyarakat yang ingin memiliki kartu SIM ilegal tinggal mendownload aplikasi, memilih layanan yang ingin didaftarkan lalu melakukan transaksi.
’’Nanti akan ditanya aplikasi apa. Di websitenya sudah terarah tergantung pemesannya mau apa,’’ katanya.
Kebanyakan korban ingin membuat akun aplikasi tertentu. Diduga, hasil kejahatan itu juga dilakukan untuk kejahatan lainnya, seperti promosi atau daftar situs judi online.
Meski begitu, Ranefli belum bisa menyimpulkan kejahatan yang dilakukan komplotan penjual data pribadi itu digunakan untuk buzzer.
’’Yang jelas pengakuannya untuk masyarakat yang membutuhkan kartu ilegal untuk membuat akun atau aplikasi apapun. Tetapi, patut kita duga peredaran cukup marak,’’ katanya.