Aturan presidential threshold mulanya termaktub dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Penghapusan itu dilakukan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
’’Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,’’ ucap Suhartoyo yang disiarkan di kanal YouTube MK, Kamis (2/1/2025).
Permohonan penghapusan presidential threshold itu diajukan empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Dalam sidang itu, dari sembilan hakim MK, ada dua hakim yang berbeda pendapat. Keduanya yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
Murianews, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus presidential threshold atau ambang batas minimal mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Aturan presidential threshold mulanya termaktub dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Penghapusan itu dilakukan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dihapusnya aturan presidential threshold tertuang dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, Kamis (2/1/2025).
’’Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,’’ ucap Suhartoyo yang disiarkan di kanal YouTube MK, Kamis (2/1/2025).
Permohonan penghapusan presidential threshold itu diajukan empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Dalam sidang itu, dari sembilan hakim MK, ada dua hakim yang berbeda pendapat. Keduanya yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, presidential threshold yang diatur di Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
Melanggar Moralitas...
Tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi, sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya.
’’Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenva adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,’’ katanya.
Atas pertimbangan di atas, MK menyimpulkan pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Saldi Isra menjelaskan pertimbangan putusan itu merujuk pada risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD RI Tahun 1945.
Di mana, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.