Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengungkapkan, alasan KPK belum melakukan upaya paksa karena Sudewo diduga terlibat dalam banyak klaster di kasus duggaan suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di DJKA Kemenhub.
Asep menyebut, peran Sudewo tak hanya di jalur kereta api ganda dari Stasiun Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso saja. Namun, Sudewo berperan di sejumlah hampir di seluruh proyek. Pihaknya pun harus menunggu perkara lainnya.
Dalam penanganan kasus korupsi di DJKA yang terkait Sudewo, KPK akan menggabungkan sejumlah klaster itu.
“Untuk dia, bisa nanti sekaligus untuk penanganannya. Jadi, tidak hanya nanti, satu, misalkan di Solo Balapan-Kadipiro, nanti satu Tegal-Solo, seperti itu, enggak. Jadi, kalau orangnya sama, itu akan disatukan untuk penanganan perkaranya,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, nama Sudewo mencuat dalam sidang kasus dugaan korupsi di lingkungan DJKA Kemenhub dengan terdakwa Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Jawa Bagian Tengah Putu Sumarjaya dan pejabat pembuat komitmen BTP Jawa Bagian Tengah Bernard Hasibuan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jateng, 9 November 2023.
Dalam sidang itu, KPK disebut menyita uang dari Sudewo sekitar Rp 3 miliar. Jaksa Penuntut Umum KPK menunjukkan barang bukti foto uang tunai dalam pecahan rupiah dan mata uang asing yang disita dari rumah Sudewo.
Murianews, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih belum melakukan upaya paksa seperti penyidikan pada Bupati Pati Sudewo di kasus korupsi Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengungkapkan, alasan KPK belum melakukan upaya paksa karena Sudewo diduga terlibat dalam banyak klaster di kasus duggaan suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di DJKA Kemenhub.
Asep menyebut, peran Sudewo tak hanya di jalur kereta api ganda dari Stasiun Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso saja. Namun, Sudewo berperan di sejumlah hampir di seluruh proyek. Pihaknya pun harus menunggu perkara lainnya.
Dalam penanganan kasus korupsi di DJKA yang terkait Sudewo, KPK akan menggabungkan sejumlah klaster itu.
“Untuk dia, bisa nanti sekaligus untuk penanganannya. Jadi, tidak hanya nanti, satu, misalkan di Solo Balapan-Kadipiro, nanti satu Tegal-Solo, seperti itu, enggak. Jadi, kalau orangnya sama, itu akan disatukan untuk penanganan perkaranya,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, nama Sudewo mencuat dalam sidang kasus dugaan korupsi di lingkungan DJKA Kemenhub dengan terdakwa Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Jawa Bagian Tengah Putu Sumarjaya dan pejabat pembuat komitmen BTP Jawa Bagian Tengah Bernard Hasibuan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jateng, 9 November 2023.
Dalam sidang itu, KPK disebut menyita uang dari Sudewo sekitar Rp 3 miliar. Jaksa Penuntut Umum KPK menunjukkan barang bukti foto uang tunai dalam pecahan rupiah dan mata uang asing yang disita dari rumah Sudewo.
Sudewo Membantah...
Namun, Sudewo membantahnya. Dia juga membantah menerima uang sebanyak Rp 720 juta yang diserahkan pegawai PT Istana Putra Agung, serta Rp500 juta dari Bernard Hasibuan melalui stafnya yang bernama Nur Widayat.
Kasus dugaan korupsi ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada 11 April 2023 di Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah DJKA Kemenhub, kini bernama BTP Kelas I Semarang.
KPK lantas menetapkan 10 orang tersangka yang langsung ditahan terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur rel kereta api di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Setelah beberapa waktu, atau hingga November 2024, KPK telah menetapkan sebanyak 14 tersangka. KPK juga telah menetapkan dua korporasi sebagai tersangka kasus tersebut.
KPK pada 12 Agustus 2025, menetapkan dan menahan tersangka ke-15 kasus tersebut, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenhub atas nama Risna Sutriyanto (RS).
Kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut terjadi pada proyek pembangunan jalur kereta api ganda Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso; proyek pembangunan jalur kereta api di Makassar, Sulawesi Selatan; empat proyek konstruksi jalur kereta api dan dua proyek supervisi di Lampegan Cianjur, Jawa Barat; dan proyek perbaikan perlintasan sebidang Jawa-Sumatera.
Dalam pembangunan dan pemeliharaan proyek tersebut, diduga telah terjadi pengaturan pemenang pelaksana proyek oleh pihak-pihak tertentu melalui rekayasa sejak proses administrasi sampai penentuan pemenang tender.