Rabu, 19 November 2025

Murianews, Pekanbaru – Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan mengungkapkan sebanyak 1,9 juta hektare atau 21,4 persen dari luas wilayah perkebunan di Provinsi Riau, telah teridentifikasi mengalami tumpang tindih. Hal ini diketahui setelah melihat Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI).

Pahala menjelaskan, beberapa perusahaan telah dikenakan sanksi administratif berdasarkan aturan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja. Sebanyak 94 perusahaan terbukti melanggar Pasal 110A, dengan potensi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar lebih dari Rp 150 miliar.

”Sementara itu, terdapat 23 perusahaan yang melanggar Pasal 110B, dengan potensi PNBP hampir mencapai Rp 800 miliar,” ungkap Pahala dikutip dari Suara.com, Jumat (7/6/2024).

Lebih lanjut, Pahala menyebutkan aktivitas pertambangan di dalam kawasan hutan Riau, berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Pengelolaan Kawasan Hutan (PPKH), telah mencapai lebih dari 500 hektare. Lima perusahaan diduga melakukan pelanggaran Pasal 110B.

”Di Provinsi Riau, terdapat hampir 27 ribu hektare aktivitas tambang ilegal di area penggunaan lahan lain yang belum diketahui nama perusahaannya, sehingga belum jelas pengenaan sanksinya,” jelas Pahala.

Diketahui, Riau merupakan salah satu dari lima provinsi yang menjadi pilot program Strategi Nasional Percepatan Aksi Pencegahan Korupsi (Stranas PK), bersama dengan Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Papua, dan Kalimantan Timur.

Provinsi-provinsi ini dijadwalkan untuk melaksanakan penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan ruang melalui pendekatan kebijakan satu peta yang digerakkan oleh Stranas.

Komentar