Rabu, 19 November 2025

Murianews, Jepara – Menjelang bulan ramadan, masyarakat Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah selalu menggelar tradisi Baratan. Tradisi ini rutin digelar sebagai wujud pelestarian warisan budaya leluhur.

Tradisi baratan selalu digelar tujuh hari sebelum bulan puasa ramadan tiba. Tahun ini, tradisi baratan digelar pada Sabtu (2/3/2024) malam.

Seperti yang sudah-sudah, tradisi baratan selalu menyedot perhatian ribuan masyarakat. Tak hanya masyarakat setempat, warga dari berbagai desa juga turut menyaksikan meriahnya tradisi tersebut.

Tradisi baratan identik dengan arak-arakan sosok Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat diarak dari Masjid Al Makmur Kriyan mengelilingi desa. Sang ratu diiringi rombongan yang menggunakan busana beraneka ragam.

Di depan delman yang dinaiki Ratu Kalinyamat, ada pasukan yang membawa seikat daun kelapa kering. Mereka bertugas membersihkan jalan yang akan dilewati Sang Ratu.

Di barisan terdepan, dua sosok sapu jagat mengawal Ratu Kalinyamat mengelilingi Desa Kriyan. Diikuti barisan sesepuh desa yang melambangkan perwujudan ulama,  danyang-danyang, sosok Sang Ratu dengan kereta kencana, prajurit wanita, gunungan hasil bumi dan barisan anak-anak serta warga.

Tak hanya itu, rombongan kirab di belakang Sang Ratu juga membawa gunungan hasil bumi, gunungan apem dan puli hingga peserta yang membawa impes lampion.

Tradisi baratan diawali dengan doa bersama dan selamatan di Masjid Al Makmur Kriyan. Usai berdoa, kembang api dinyalakan ke langit pertanda kirab akan dimulai. Banyaknya warga yang menonton membuat gang-gang desa semakin sempit.

Tokoh Agama Desa Kriyan Jepara Muhammad atau yang akrab disapa Gus Mad menerangkan, Baratan merupakan tradisi yang sudah berjalan turun temurun. Baratan selalu digelar jelang bulan Ramadan.

“Kami selalu menggelarnya setelah nisfu syaban,” kata Gus Mad.

Gus Mad menjelaskan, Baratan berasal dari kata bara’atan. Istilah itu diambil dari nama lain malam nisfu syakban. Yaitu laliatul bara’ah yang bermakna malam pembebasan atas dosa-dosa manusia yang ingin bertaubat.

“Orang Jawa (masyarakat Desa Kriyan, red) tidak bisa bilang bara’ah. Akhirnya menjadi Baratan,” tutur Gus Mad.

Tradisi Baratan juga berkaitan dengan penyambutan bulan ramadan. Di malam pembebasan itu, kata Gus Muhammad, manusia juga membersihkan diri untuk menghadapi bulan suci itu. Harapannya, saat menjalani ibadah di bulan ramadan menjadi lebih baik.

Gus Muhammad menyampaikan, pada zaman dulu Baratan tidak digelar semeriah akhir-akhir ini. Semula, saat Baratan masyarakat, terutama anak-anak, membawa lampion dan obor keliling desa. Lambat laun masyarakat membuat Baratan menjadi lebih besar dengan ragam imbuhan budaya.

Salah satu imbuhannya yaitu iring-iringan Ratu Kalinyamat menaiki kereta kencana. Alasannya, Desa Kriyan adalah pusat keraton Ratu Kalinyamat sewaktu masih berkuasa. Tujuannya yaitu untuk terus membangkitkan memori ingatan masyarakat terhadap Sang Ratu.

Diketahui, Tradisi Baratan tidak hanya ada di Desa Kriyan saja. Beberapa desa di Kecamatan Kalinyamatan juga menjalankannya. Namun, Desa Kriyan dinilai lebih kuat dalam tradisi itu. Dasarnya, pada arak-arakan itu ditampilkan peninggalan-peninggalan Ratu Kalinyamat. Seperti Kendi Maling dan Tirta Kahuripan.

Dalam perhelatan Baratan, imbuh Gus Mad, seluruh biaya diambil dari iuran masyarakat secara swadaya. Sehingga, masyarakat Desa Kriyan merasa sangat memiliki tradisi itu.

”Ini upaya kami untuk menguri-uri sejarah dan kebudayaan leluhur kami,” tegas Gus Mad.

editor: Dani Agus

Komentar

Terpopuler